Pentingnya Pengembangan Kajian Epigrafi Dukung Kemajuan Kebudayaan

Editor: Makmun Hidayat

“Perlu dipahami bahwa kompetensi ahli epigrafi di Indonesia ini masih perlu ditingkatkan, penelitian prasasti Sansekerta, Arab dan kolonial semakin sedikit,  serta adanya keterbatasan kamus bahasa kuno dan penguasaan bahasa prasasti. Padahal penelitian epigrafi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1817, yang dilakukan oleh TS Raffles dengan Panembahan Sumenep dan SJ van der Vlis dengan R. Ng. Ronggowarsito,” kata Tjahjono.

Ia menyebutkan pada tahun 1913, sudah mulai ramai penulisan tentang sejarah Indonesia atau sejarah Jawa Kuno dan munculnya kajian mendetail tentang isi prasasti setelah tahun 1930.

“Paska kemerdekaan, yaitu setelah 1950, terjadi perkembangan pada metode dan interpretasi epigrafi. Yang diikuti dengan publikasi prasasti oleh peneliti Indonesia pada tahun 1960,” ucapnya.

Dan sekitar tahun 1980, mulai bermunculan generasi baru ahli epigrafi Indonesia. Hingga akhirnya pada tahun 2000 terbentuklah Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia.

“Tantangan epigrafi selanjutnya adalah bagaimana para ahli epigrafi mampu menyumbangkan ide tentang bagaimana seharusnya metode penelitian epigrafi. Atau paling tidak melakukan peninjauan ulang pada metode yang dipergunakan saat ini,” ucapnya lagi.

Begitu pula penggunaan pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.

“Perlu ditingkatkan untuk memberikan banyak variasi penelitian dan juga untuk pengembangan penelitian. Misalnya dengan mengembangkan kajian paleografi hingga kajian sejarah Indonesia kuno,” kata Tjahjono.

Ia menyebutkan Indonesia memiliki potensi besar dengan adanya penemuan prasasti baru, berkembangnya komunitas pemerhati epigrafi dan berkembangnya teknologi sebagai alat bantu dalam penelitian.

Lihat juga...