Marsekal TNI Fajar Prasetyo, “KENAPA TIDAK”?

OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M.SC.

Hal itu wajar saja, sebagai “sesuatu” yang mengiringi – walau untuk sesaat – terjadinya proses  pergantian suatu jabatan. Apalagi, terkait jabatan sestrategis Panglima TNI.

Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, menjabat Panglima TNI sejak, 8 Desember 2017. Nyaris genap empat tahun (hanya kurang 8 hari). Durasi yang amat lama, tentunya.

Ini sekaligus menjadi bukti, jika Presiden merasa amat cocok, nyaman dan aman, bersama Marsekal Hadi. Di sini, tentu faktor subyektivitas (Presiden), amat menentukan.

Sependek yang penulis dapat catat, Panglima TNI ke-20 ini, menjabat paling lama dan (memang terlanjur) kelamaan. Memecahkan rekor terlama sebelumnya,  yang dipegang Panglima TNI ke-14, Jenderal TNI Endriartono Sutarto,  7 Juni 2002 – 13 Februari 2006.

Sayangnya, sudah kelamaan, tapi masih juga diulur (terus) sampai memasuki injury time. Wajar dan sah-sah saja, jika kemudian timbul berbagai analisa, komentar, dan  praduga-praduga.

Kedzaliman Baru

Pertanyaan kritisnya, apa dampak negatif (durasi jabatan yang terlalu panjang) bagi organisasi TNI? Ada dua yang amat menonjol dan signifikan : Pertama, organisasi TNI mengalami kejenuhan. Kedua, terjadi kemacetan proses regenerasi kepemimpinan.

“Kejenuhan”, lazimnya mengikis kesegaran dinamika organisasi. Menghambat kreativitas berpikir. Mendorong berbagai apatisme, dan menghalangi lahirnya prestasi dan inovasi.

Begitu pula dengan “kemacetan proses regenerasi”. Sangat mengganggu proses dan dinamika sirkulasi kepemimpinan. Bahkan amat menghambat hadirnya pemimpin baru, yang lebih fresh dan memberi harapan baru, bagi institusi TNI.

Pada kondisi seperti itu, cenderung terjadi ironi. Terjadi hal-hal yang sungsang, sifatnya. Disengaja atau tidak, di sini terjadi sebuah “kedzaliman baru”. Ada yang mestinya lebih berhak, tapi justru tidak mendapatkan haknya, karena lokomotif mbegegek di tempat. Tidak bergeser atau bergerak.

Lihat juga...