BEIJING – Pemerhati sejarah sosial kemasyarakatan Tibet, Zhang Yun. PhD, melihat kebebasan beragama di daerah otonomi yang berada di wilayah barat daya Cina itu lebih terjamin.
“Tibet saat ini sangat bebas dibandingkan sebelum perjanjian damai 1951,” ujarnya kepada sejumlah awak media asing di Gedung All Cina Journalists Assocation (Zhongguo Jixie), Beijing, Rabu.
Meskipun sebelum era itu masyarakat setempat umumnya menganut agama Budha, lanjut dia, mereka tidak memiliki hak untuk bebas memilih keyakinan.
“Setelah reformasi demokrasi masyarakat tidak lagi diwajibkan memeluk agama tertentu sejak lahir. Justru saat ini mereka punya hak untuk memilih keyakinan. Dengan demikian, maka setiap orang bisa mewujudkan kebebasan sejati,” kata mantan Direktur Bidang Sejarah pada Pusat Penelitian Tibet itu.
Terciptanya kebebasan tersebut, jelas dia, karena adanya jaminan dari undang-undang yang berlaku di Cina.
Ia melihat isu Tibet dalam beberapa waktu terakhir cenderung dibesar-besarkan oleh asing.
“Undang-undang tentang Tibet yang disahkan oleh Amerika Serikat merupakan bentuk pendekatan yang salah. Dan Cina dengan tegas menentangnya,” ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan, para diplomat Cina selalu menegaskan bahwa masalah Tibet merupakan urusan dalam negeri Cina.
“Intervensi dari pihak asing justru akan memberikan dampak negatif,” kata Zhang menambahkan.
Tibet merupakan daerah otonomi di Cina yang memiliki nama Mandarin sebagai Xizang. Sekitar 93 persen penduduknya beretnis Tibet dari total populasi 2,7 juta jiwa.
Etnis Han sebagai suku mayoritas di Cina hanya terdapat enam persen di wilayah yang berbatasan langsung dengan Nepal, Bhutan, dan India itu. (Ant)