Ia takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Jeritan istinya hanya membumbung memantul dalam kerimbunan hutan, tak ada siapa pun selain mereka bertiga dan burung-burung yang membangun sarang.
“Ampun Bang, sungguh rendah apa yang Abang tuduhkan padaku itu.” Isaknya
“Kamu! Bagaimana aku mempercayaimu lagi, Sullie.” Lelaki itu menunjuk-nunjuk istrinya dengan raut muka memerah penuh amarah.
“Uangku hilang. Kurasa kamu yang mencurinya, Labih. Kamu ambil istriku, kamu curi juga uangku.”
Lelaki itu meluapkan seluruh amarahnya kepada Labih, pemuda tanggung yang dipungutnya. Ia tak punya siapa-siapa, lalu dibawanya pulang ke rumah, diajarinya berladang dan menganyam rotan.
Sungguh, kali ini dadanya terasa disayat-sayat oleh mandau dalam genggaman tangannya sendiri. Beruntung dia mampu menahan sabar, jika tidak, mungkin kepala Labih akan terpenggal lalu terpental dan menggelinding saat itu juga.
“Aku tidak terima Abang menuduhku mencuri uang dan berserong dengan Kakak Sullie.” Pemuda itu, kali ini mengeraskan suaranya, membela diri.
“Sumpah darah anjing. Aku tunggu kamu besok di balai-balai.” Kata lelaki itu, lalu berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Sullie, istrinya, dan Labih.
Istrinya semakin tersedu. Buah lapiu yang ia punguti, ia buang dan berhamburan di tanah. Sullie tak tertarik lagi dengan buah lapiu yang sedari tadi ia punguti satu-satu.
Beberapa hari sejak peristiwa itu, tantangan sumpah darah anjing diterima oleh Labih. Mereka berjumpa pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati, di balai-balai.
Pemimpin ritual sudah siap. Anjing hitam dalam kurungan meronta-ronta, moncongnya bertali kencang membuatnya berhenti menggonggong.