Sebagai contoh Garuda memiliki pesawat jenis Boeing 737, Boeing 777, Airbus A330, sampai dengan Bombardier sehingga efisiensinya menjadi bermasalah.
Kemunculan COVID-19 menimbulkan permasalahan baru, yaitu utang yang awalnya berada di kisaran Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun, sehingga membuat posisi Garuda saat ini dalam posisi unsolved karena utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai untuk mendukung neraca keuangannya.
Masalah terbesarnya adalah problem Garuda ini melibatkan pemberi sewa atau lessor serta pemberi pinjaman dalam bentuk Global Sukuk Bond yang dimiliki oleh para pemegang sukuk dari Timur Tengah. Dengan demikian maka harus dilakukan negosiasi ulang melalui proses legal internasional.
Terkait masalah lessor ini, Menteri BUMN akan melakukan pemetaan ulang terhadap 36 lessor Garuda Indonesia, termasuk mengidentifikasi mana lessor yang bersih dan mana lessor yang bermasalah.
Dalam melakukan negosiasi, Erick Thohir kemungkinan akan mengambil dua pendekatan berbeda. Kepada lessor yang terlibat kasus yang sudah terbukti korupsi, Menteri BUMN tersebut tidak akan segan-segan mengambil pendekatan negosiasi yang keras.
Sedangkan dalam melakukan negosiasi dengan lessor yang tidak bermasalah, Erick akan mencoba melakukan negosiasi ulang dengan pertimbangan bahwa nilai sewa atau kontrak leasing yang mereka terapkan kepada Garuda dinilai kemahalan sehingga membebani keuangan maskapai tersebut.
Dua kemungkinan rencana darurat Menteri BUMN tersebut dinilai cukup realistis. Pertama adalah menyediakan pasar penumpang domestik yang sangat banyak bagi Garuda Indonesia dengan mengambil alih pangsa penerbangan domestik akibat rencana pembatasan kebijakan Open Sky.