Tukang Jahit Sepeda, Tetap Bertahan di Era Milenial
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Kita semua punya pelanggan masing-masing. Jadi tidak akan saling serobot atau saling sikut. Terlebih untuk harga kita sepakat standar sesuai dengan yang disepakati bersama. Tapi jika sama pelanggan masing-masing itu tergantung pribadi. Mau memberikan harga berapa,” katanya lagi.
Dirinya bersyukur, hasil dari menjahit dapat disisihkan untuk istri dan anak di kampung.
Hal senada juga disampaikan Sutisna (35 tahun). Menurutnya, untuk harga potong pakaian dikenakan biaya 25 ribu rupiah sedangkan untuk mengecilkan ukuran pakaian atau celana dikenakan biaya sebesar 30 ribu rupiah. Dikatakan Sutisna, dirinya sangat tertolong dengan adanya komunitas atau perkumpulan ini dikarenakan satu sama lain saling membantu.
“Kalau untuk pendapatan kita juga saling bantu. Semisal saya tidak ada pemasukan atau tidak ada yang jahit, teman sebelah kadang kasih pelanggan. Dan lebih enaknya lagi, kalau kita tidak bisa setor hari ini, bisa dibayar di hari selanjutnya,” ucapnya.
Sutisna menambahkan, di tempat mangkal tersebut, tidak dipungut biaya. Hanya saja dari pihak remaja yang mengurusi pasar, memberikan air mineral yang diganti dengan harga 5000 rupiah per botol.
“Bos jarang datang ke kontrakan. Paling seminggu sekali datangnya, nggak tentu harinya. Datang ya hanya ambil uang harian kita. Alhamdulillah kalau dibilang, buat kirim ke kampung selalu ada tiap bulannya. Walaupun tidak gede,” katanya lagi.