IHW  NIlai UU Cipta Kerja Mengkooptasi Kewenangan Ulama

Editor: Koko Triarko

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, pada diskusi webinar IHW bertajuk Hukum Syariah di Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: Sri Sugiarti.

JAKARTA – Direktur Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengkritisi pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka), terkait klaster Jaminan Produk Halal (JPH) yang terdapat di pasal 35A ayat 2 yang dinilainya mengkooptasi kewenangan ulama. 

Pasal tersebut menjelaskan, bila  MUI tidak dapat memenuhi batas waktu telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BJPH) dapat menerbitkan sertifikat halal.

“Ini dapat dikatakan kekuasaan negara, mengkooptasi kewenangan ulama. Hal ini sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perundangan-undangan di Indonesia,” ujar Ikhsan, dalam rilisnya yang diterima Cendana News, Jumat (9/10/2020) siang.

Bahkan, kata dia, di masa penjajahan Belanda pun tidak berkenan masuk ke wilayah yang sangat sensitif melibatkan peran ulama.

“Namun dengan adanya UU Omnibus Jaminan Halal, peran MUI dan ulama dilemahkan oleh kekuasaan negara,” tukasnya.

Menurut dia, dalam beberapa hal masyarakat patut bersyukur hasil final dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal.

Namun ada sejumlah isu yang masih menjadi perdebatan, di antaranya perihal ketentuan mengenai sertifikasi auditor halal, akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH) dan ketentuan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal internasional serta sistem jaminan halal, yang memposisikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi badan yang superbody.

Ketentuan ini, menurutnya juga sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan BPJPH, dalam konteks pelaksanaan sistem jaminan halal.

Lihat juga...