JAKARTA – Satu kabar penting disampaikan oleh Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Doni Monardo, belum lama ini.
Kabar apalagi kalau bukan terkait perkembangan wabah virus corona di Indonesia. Hanya saja, bukan soal angka pasien baru–yang masih bertambah setiap hari–tetapi terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dalam beberapa pekan terakhir perdebatan hangat mengemuka ke publik mengenai pilkada. Pro dan kontra mewarnai beragam platform media.
Sejumlah pihak menolak pilkada diselenggarakan di tengah grafik angka pasien baru yang hingga awal Oktober 2020 terus bertambah.
Pihak yang menolak beralasan bahwa pelaksanaan pilkada dikhawatirkan memacu pertambahan angka pasien baru.
Munculnya istilah klaster pilkada menjadi “amunisi” pihak ini untuk semakin gencar menggalang opini penolakan pilkada. Apalagi pada saat pendaftaran calon kepala daerah sudah diwarnai arak-arakan, konvoi dan kerumunan.
Situasi itu memicu kekhawatiran dan kecemasan bahwa pilkada di tengah wabah virus corona ini menambah petaka. Itulah kekhawatiran dan kecemasan yang melatarbelakangi munculnya istilah klaster pilkada.
Klaster-klaster memang memang marak di tengah wabah ini. Bermula dari tracing (penelusuran) kontak maka petugas kesehatan mengidentifikasi orang-orang dalam satu klaster yang potensial tertular virus ini.
Penelusuran kontak itu menunjukkan identifikasi penyebaran atau penularan virus tersebut sangat potensial melalui pertemuan antar orang. Kerumunan orang (massa) yang kerap muncul dalam pilkada dinilai sangat potensial memacu penyebaran virus yang bermula dari Wuhan (China) tersebut.
Dari isu klaster pilkada inilah, penolakan terhadap pilkada terus didengungkan. Hal itu menempatkan Pilkada 2020 berada dalam kontroversi.