PAK HARTO: INTENSIFIKASI PERTANIAN ATASI PERMASALAHAN SEMPITNYA LAHAN PETANI
Presiden Soeharto saat memulai pemerintahan Orde Baru dihadapkan dengan tantangan sempitnya lahan pertanian yang dimiliki rakyat Indonesia. Selain akibat penjajahan, kebudayaan yang dianut masyarakat dalam sistem warisan menyebabkan lahan yang dimiliki petani semakin sempit.
“Tanah yang sudah sempit diwariskan kepada anak lelaki, kemudian berulang-ulang sampai akhirnya bagiannya menjadi kecil,” sebut Pak Harto dalam Temu Wicara dengan Sesko ABRI di Tapos, 24 Desember 1995.
Permulaan pembangunan, rakyat Indonesia yang memiliki lahan pertanian mencapai 18,75 juta petani memiliki sawah, sementara petani lainnya merupakan buruh tani atau buruh penggarap yang tidak memiliki sawah.
“Di antara 18,75 juta itu, 11 juta memiliki tanah di bawah setengah hektare. Di antara 11 juta tadi, 6 juta petani hanya memiliki lahan seperempat hektar. 50 x 50 meter sebagai sumber penghidupannya, mana cukup,” terang Bapak Pembangunan.
Selain permasalahan sempitnya lahan pertanian, petani juga dihadapkan dengan sistem pertanian yang masih tradisional.
“Usaha pertanian secara tradisional hanya menghasilkan 2 ton per hektare. Kalau seperempat hektare, petani hanya mendapatkan 500 kg, terus terang itu tidak cukup untuk perekonomian keluarga,” sebut Jenderal Besar HM Soeharto.
Dalam rangka pembangunan pertanian tersebut, mengatasi permasalahan sempitnya lahan pertanian dengan cara penambahan lahan baru belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran negara dan saat itu Indonesia juga menghadapi inflasi hingga 60 persen. Langkah yang diambil pemerintahan Orde Baru yakni meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan menerapkan teknologi tepat guna. Hal tersebut bertujuan agar produksi dari petani menjadi meningkat melalui Panca Usaha Tani.