Presiden Soeharto (2): Memasuki Pendidikan Militer
Wanita-wanita dikerahkan melalui Fujin Kei. Kenco atau Bupati, dibentuk tanpa menurut kebiasaan lama yang bertumpu pada garis keturunan sebagaimana jaman Belanda. Begitu pula dengan pengangkatan pamong praja. Romusha juga dibentuk sebagai Badan Pengerahan Pekerja Paksa.
Tenaga-tenaga itu tidak hanya dipakai untuk membangun dobuku atau dam irigasi di pelbagai tempat di Jawa, namun juga dikirim ke Birma untuk membangun jalan sesuai kebutuhan Jepang.
Pengibaran bendera Merah-Putih yang semula diijinkan segera dilarang dan diganti bendera Jepang, Hinomaru. Begitu pula dengan lagu Indonesia Raya digantinya dengan Kimigayo.
Setelah mulai sembuh, Soeharto remaja mulai lagi mencari pekerjaan dan mengadu nasib ke Kota Yogya.
Pantang menyerah merupakan salah satu ciri kas pemuda desa yang kelak memimpin bangsa Indonesia selama lebih 30 tahun itu.
Soeharto remaja kemudian ikut kursus mengetik. Sakitnya juga kambuh ketika mengadu nasib untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta.
Peruntungan nasib Soeharto remaja berubah ketika ada penerimaan keanggotan Keibuho, atau Polisi Jepang di Indonesia. Soeharto remaja diterima dan bahkan lulus latihan dengan predikat terbaik untuk menjadi Keibuho.
Kepala Polisi Opsir Jepang bahkan menyuruh Soeharto remaja Belajar Bahasa Jepang dan menganjurkannya mendaftar menjadi tentara sukarela PETA atau Pembela Tanah Air.
Soeharto remaja kemudian diterima menjadi tentara sukarela PETA dan dilatih sebagai Shodancho atau komandan peleton.
Ia memperoleh tempaan keras khas Jepang dengan titik berat pada penguasaan taktik kesatuan kecil, peleton atau seksi. Selesai pelatihan ia ditempatkan di Batalyon di Wates Yogyakarta, pos pertahanan Glagah di pantai selatan Yogyakarta, Solo dan Madiun.