Kampung Nelayan Kamal Muara di Jakarta Bernuansa Bugis
JAKARTA — Berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat DKI Jakarta atau berdurasi tempuh sekitar satu jam, Kamal Muara memiliki keunikan tersendiri dibandingkan kampung-kampung nelayan lainnya di pesisir Ibukota.
Saat memasuki lorong-lorong kampung, pengunjung akan disuguhi pemandangan berupa banyaknya rumah panggung dengan tiang pancang setinggi antara satu hingga dua meter.
Rumah-rumah panggung itu sebagian berdiri di atas tanah dengan tumpukan kulit kerang, sementara sebagian lainnya berdiri menjorok ke laut.
Di bagian teras depan tanpa perabot meja dan kursi, sejumlah warga tampak duduk lesehan asyik dengan obrolan mereka. Tak hanya berupa rumah panggung yang sebagiannya bercat warna mencolok, keunikan tersebut akan semakin pengunjung sadari ketika mendengar percakapan yang dilakukan antara warga setempat.
Dialog yang warga Kampung Nelayan Kamal Muara ucapkan tidak terdengar seperti bahasa Indonesia dialek Jakarta pada umumnya yang sering diucapkan oleh warga di Jakarta.
“Enkako pole (selamat datang) di kampung kami,” sapa Fanna (65), salah seorang warga setempat dengan logat Bugisnya yang kental.
Selain Fanna, ada seribuan orang lainnya masih menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar sehari-hari di kampung nelayan itu. Namun uniknya lagi, bahasa Bugis yang mereka gunakan sesekali bercampur dengan kosakata bahasa Betawi, seperti kata “lu” dan “gue”.
“Mayoritas warga Kampung Nelayan Kamal Muara ini berasal dari Suku Bugis,” kata pria lanjut usia yang dibawa merantau almarhum ayahnya di Kamal Muara sejak 1975 itu.
Sebagian besar generasi berusia dewasa dan lanjut, masih fasih menggunakan bahasa Bugis.