Hak-Hak Anak “Down Syndrome” Belum Terpenuhi
Editor: Mahadeva
JAKARTA – Pemerintah diminta untuk memenuhi hak-hak anak penyandang disabilitas khususnya down syndrome.
Susianah Affandy, Komisioner Komisi Perlindungan Aanak Indonesia (KPAI) Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat menyampaikan, data KPAI sampai Juni 2019 mencatat, terdapat 64 anak yang hak-haknya tidak dipenuhi karena masalah sosial.
Hasil pengawasan KPAI terhadap keberadan anak down syndrome diantaranya, anak-anak down syndrome tidak sedikit yang mengalami pengabaian di masyarakat. Kehadiran mereka masih dianggap sebagai aib keluarga.
“Penanganan anak down syndrome, seharusnya dilakukan Pemerintah dengan pendekatan carity. Bukan sekedar belas kasihan, sehingga harus ditempatkan dalam tugas dan fungsi kementerian Sosial,” tandasnya, Selasa (23/7/2019).
Pemerintah seharusnya mengubah paradigma charity, dengan paradigma pemenuhan hak. Sehingga, semua kementerian dan lembaga, memiliki tugas dan fungsi dalam upaya pemenuhan hak-hak anak. Mulai dari catatan sipil, hak kesehatan, hak pendidikan, hak pengasuhan dan sebagainya.
Kemudian, anak down syndrome dianggap berbeda dengan anak disabilitas lain seperti tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra. Anak down syndrome tidak bisa mengenali diri sendiri, memiliki keterbelakangan IQ, fisik-mental dan daya tahan tubuh yang juga lemah.
Hal itu menyebabkan anak-anak tersebut memiliki masalah perkembangan psikomotor, berisiko tinggi mengalami congenital defeacts dan organic disorder seperti celiac disease, hipertiroidism, gastrointestinal defeacts, dan masalah pendengaran.
“Kemandirian anak down syndrome, sangat ditentukan oleh pengasuhan orang tua dan keluarga. Sebagian besar keluarga sering mengalami patah arang dalam proses pengasuhan. Temuan KPAI, ada dua penyebab sebagian besar orang tua membiarkan anak down syndrome tumbuh ala kadarnya,” tambahnya.