Perajin Batu Bata di Palas-Lamsel Terkendala Bahan Baku
Editor: Koko Triarko
Proses menghaluskan tanah menggunakan mesin molen, sebut Ngadimun, membutuhkan waktu setengah hari. Setelah tanah tersebut halus, selanjutnya ditutupi plastik untuk menjaga kelembaban tanah.
Pencetakan batu bata dilakukan pada brak atau rumah pembuatan, penyimpanan sekaligus untuk membakar batu bata. Bahan baku tanah bisa habis tercetak menggunakan sistem cetakan manual, dengan jumlah satu cetakan sebanyak 10 buah batu bata.
Pembuatan batu bata secara tradisional, menurut Ngadimun, masih dilakukan oleh sekitar 60 perajin di Desa Tanjungsari. Hanya sejumlah perajin yang memiliki modal lebih, yang menggunakan mesin cetak untuk membuat batu bata cetak.
Pembuatan batu bata dengan sistem mesin cetak, diakuinya masih kurang diminati, karena produsen harus mengeluarkan biaya ekstra untuk bahan bakar solar, sekaligus tenaga kerja yang lebih banyak.
“Kami masih mempergunakan cara manual, karena lebih murah namun kualitas tetap terjaga,” papar Ngadimun.
Selain bahan baku tanah, penunjang pembuatan batu bata yang didatangkan dari wilayah lain, berupa kayu bakar dan sekam. Kayu bakar yang kerap dipergunakan merupakan sisa penggergajian kayu atau sebetan.
Satu kendaraan L300 kayu bakar, dibeli Rp450.000. Selain menggunakan kayu, ia masih harus menggunakan sekam yang dibeli seharga Rp3.000 per karung. Sekam menjadi salah satu bahan yang menciptakan bata matang sempurna.
Perajin batu bata lainnya, Ponimin, mengaku mengandalkan tanah dari wilayah lain untuk pembuatan batu bata. Sesuai dengan kalkulasi usaha yang dilakukan, ia masih mendapatkan keuntungan sebesar Rp30.000 untuk per seribu batu bata, yang dijual saat ini dengan harga Rp230.000.