Panen Masa Tanam Ketiga di Lampung Selatan Turun

Editor: Mahadeva WS

Petani memilih menyimpan hasil panen, juga dipengaruhi oleh kebutuhan paska bulan besar sebelum bulan Suro, atau Tahun Baru Islam. Warga bersuku Jawa di daerah tersebut, banyak menggelar hajatan pernikahan. “Sebagian petani seperti saya memilih menjual dalam bentuk beras yang sudah digiling, karena lebih mahal dibanding menjual dalam bentuk gabah,” terang Mulyono.

Mulyono menyebut, harga gabah kering panen pada masa panen di awal September harganya murah, hanya Rp3.800 perkilogram atau Rp380.000 perkuintal. Sementara pada masa tanam sebelumnya, gabah kering panen dijual ke pedagang hingga Rp400.000 perkuintal atau Rp4.000 perkilogram.

Lahan persawahan yang berada di kontur perbukitan, membuat proses pemanenan masih menggunakan alat mesin perontok tradisional. Pola tersebut dilakukan dengan bagi hasil antara pihak penanam, dan pemilik padi yang dikenal dengan sistem ceblok. Saat hasil panen mencapai enam ember, maka yang lima ember menjadi hak pemilik sawah. Dan satu ember menjadi milik penanam. Alat perontok padi dengan mesin disebutnya, sulit digunakan di wilayah tersebut akibat areal persawahan yang tidak rata.

Hasan (38), petani di Desa Tanjungheran, Kecamatan Penengahan juga mengalami penurunan produksi panen. Di kondisi normal, hasil panen padi dari lahan seluas satu hektar adalah enam ton. Namun kini, hanya menghasilkan lima ton. Ia sengaja tidak menjual padi hasil panen, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Selain itu, saat ini harga gabah masih cukup rendah. “Menggunakan padi hasil panen sawah lebih hemat dibandingkan harus membeli beras dari toko beras atau di tempat penggilingan padi,” terang Hasan.

Lihat juga...