Permintaan Buah Pinang di Lamsel, Masih Tinggi

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG — Permintaan buah pinang di wilayah Lampung Selatan, masih tinggi. Suminta (50), salah satu warga Desa Way Kalam, kecamatan Penengahan, menyebut, permintaan buah pinang banyak berasal dari pengepul di Kalianda. 
Menurut Suminta, buah pinang sengaja ditanam petani di Penengahan dan kecamatan lainnya, karena masih tingginya permintaan sebagai bahan dasar pewarna, bahan baku obat, industri dan kecantikan.
Heni, mengupasbuah pinang, memisahkan kulit dan biji [Foto: Henk Widi]
Kenaikan harga buah pinang disebutnya cukup baik, semula Rp8.000 naik menjadi Rp12.000 per kilogram.
Suminta mengaku menanam pinang sejak puluhan tahun silam. Selain digunakan untuk upacara adat dan kearifan lokal warga mengunyah sirih dan pinang, permintaan banyak berasal dari pengepul untuk dijual ke pabrik.
“Saya sengaja mengumpulkan buah pinang utuh dari kebun dengan proses pemanenan, sebagian dibeli dari petani lain selanjutnya dikupas dan dipisahkan dari kulit,” terang Suminta, Selasa (3/7/2018).
Menurutnya, produksi buah pinang yang melimpah di sekitar Gunung Rajabasa, dalam sekali panen bisa mencapai ratusan kilogram dari sejumlah petani. Jumlah tersebut merupakan buah pinang kupas yang sudah dipisahkan dari kulit, setelah dilakukan penjemuran dan pencungkilan.
Proses pencungkilan buah pinang pada musim panen, kata Suminta, kerap melibatkan para wanita di sekitar rumahnya. Sejumlah wanita yang ikut melakukan pengupasan pinang secara khusus mendapatkan hasil sekitar Rp50.000 per hari, dengan upah Rp5.000 per kilogram.
Pengupasan buah pinang untuk dijual dalam bentuk pinang bulat dan pinang iris, dilakukan karena belum adanya pengolah pinang. Harga buah pinang bulat lebih mahal, di tingkat petani, seharga Rp17.000 per kilogram, meski pemisahan kulit dan biji lebih sulit.
 Sebaliknya, harga pinang belah kupas dengan pembelahan menggunakan golok lebih murah, seharga Rp8.000 per kilogram.
“Petani yang memiliki jumlah pohon pinang sedikit kerap menjualnya kepada saya, lalu dikumpulkan untuk dikupas,” beber Suminta.
Menurut Suminta, kelompok wanita tani pembudidaya pinang di lereng Gunung Rajabasa, pernah memperoleh bantuan dana bergulir untuk pengelolaan panen pinang.
Dana bergulir tersebut diperoleh bersamaan dengan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) penyediaan bibit pohon penghijauan dari Kementerian Kehutanan.
Dana dipergunakan untuk memberi modal pemeliharaan pohon pinang serta usaha jual beli buah pinang. Usaha pengupasan buah pinang sekaligus menjadi cara pemberdayaan wanita yang tinggal di dekat kawasan hutan lindung, agar tidak terjadi perusakan kawasan hutan.
Hasil pengumpulan buah pinang dari kebun milik keluarga dan membeli dari petani membuat Suminta mampu mengumpulkan 500 kilogram pinang per pekan.
Buah pinang tersebut selanjutnya dibeli pengepul dari Kalianda yang akan dijual ke gudang di Panjang untuk dilakukan ekspor ke negara pengolah pinang.
Sebagian buah pinang, bahkan dikirim ke Jambi sebagai bahan baku pewarna.
Usaha pengupasan buah pinang, kata Suminta, sekaligus menjadi cara pemberdayaan wanita petani di wilayah tersebut. Selain buah pinang, limbah kulit serta cangkang pinang masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pupuk kompos.
Pupuk kompos yang diolah sebagai media tanam bunga bahkan bisa menjadi tambahan penghasilan bagi kaum wanita di desa tersebut.
“Kulit buah pinang dikumpulkan dalam satu lubang selanjutnya dicampur kotoran ternak sapi, pupuknya bisa menjadi penyubur tanaman bunga,” cetus Suminta.
Heni (30), salah satu pemilik puluhan pohon pinang mengaku menjual hasil panen pinang berjumlah puluhan kilo kepada Suminta. Pinang yang terkumpul selanjutnya akan dikupas bersama dengan kaum wanita yang membantu pengupasan.
Kegiatan mengupas buah pinang selain memberi penghasilan bagi kaum wanita sekaligus ajang pertemuan kelompok wanita tani dan ajang mencari inovasi peningkatan ekonomi berbasis hasil pertanian.
Selain melakukan pengupasan buah pinang untuk diambil buahnya, sebagian wanita tersebut juga melakukan pengupasan buah melinjo. Buah melinjo yang kerap dipanen menjadi bahan baku emping dikupas sebelum diambil bagian buahnya.
Menurut Heni, upah sekali kupas buah melinjo per kilogram mencapai Rp3.000. Pada puncak masa panen melinjo, dirinya bisa mengupas lebih dari 10 kilogram dalam waktu tiga jam.
“Saat panen beberapa komoditas pertanian, wanita di sini menjadi buruh kupas pinang, melinjo yang hasilnya lumayan,” terang Heni.
Sebagian wanita yang memanfaatkan buah melinjo di desa tersebut juga melakukan pengolahan emping.
Emping melinjo yang dibuat dengan cara manual menjadi mata rantai usaha kaum wanita.
Saat musim panen melinjo, sebagian wanita bisa menjadi buruh kupas dan sebagian menjadi pengolah emping melinjo. Musim yang silih berganti dari hasil pertanian, di antaranya kakao, cengkih, pinang dan melinjo membuat wanita selalu mendapatkan hasil untuk menyokong ekonomi para wanita di sekitar lereng Gunung Rajabasa tersebut.
Lihat juga...