JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terus menyosialisasikan batas waktu 31 Juli 2018 bagi warga untuk secara sukarela menyerahkan ikan predator yang membahayakan, seperti ikan arapaima yang ditemukan di sejumlah daerah.
“Ya, (KKP menetapkan 31 Juli 2018 sebagai batas waktu) untuk tahap pertama ini,” kata Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP, Rina, ketika di Jakarta, Rabu (11/7/2018).
Sosialisasi bukan hanya dilaksanakan di tingkat pusat, tetapi juga di berbagai balai karantina perikanan yang tersebar di Nusantara, seperti Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi yang membuka posko penyerahan ikan predator, seperti arapaima, alligator, piranha, dan ikan lain yang dilarang.
“Pendirian posko dilakukan seluruh Indonesia, termasuk di Jambi itu sebagai tindak lanjut pelepasan ikan predator arapaima di Sungai Brantas, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, yang mengancam ekosistem ikan lokal,” kata Kepala BKIPM Jambi, Ade Samsudin di Jambi, Selasa (3/7).
Selain mendirikan Posko, BKIPM Jambi juga turun langsung ke masyarakat untuk menyosialiasikan tentang ikan-ikan yang berbahaya dan buas dengan mendatangi sentra-sentra penjualan ikan hias dan eksotis yang ada di Kota Jambi.
“Masyarakat maupun pedagang ikan hias tersebut diimbau untuk secara sukarela menyerahkan ikan yang dilarang kepada para petugas BKIPM Jambi, mulai 1 hingga 31 Juli 2018 di Posko penyerahan ikan berbahaya dan invasif, sebagai wujud kepedulian lingkungan dan patuh hukum”, jelasnya.
Seorang warga Jambi, Masrifah, juga telah menyerahkan ikan alligator berukuran panjang 50 cm dengan berat tiga kilogram, kepada SKIPM Jambi pada 4 Juli.
“Ini sesuai sosialisasi dari SKIPM Jambi, terkait peredaran ikan berbahaya,” tutur Masrifah.
Selain di Jambi, SKIPM Yogyakarta pada pekan pertama Juli juga dilaporkan telah menerima sekitar lima ikan predator secara sukarela oleh warga di posko penyerahan ikan invasif dan berbahaya.
Kepala SKIPM Yogyakarta, Hafit Rahman, menyatakan, ikan invasif tidak boleh dibiarkan lepas di perairan darat seperti sungai, telaga, danau, dan sejenisnya, sebab merupakan ikan predator yang pemakan segala, yang jika dibiarkan keberadaannya dapat mengancam keberlangsungan jenis-jenis ikan dan hewan lainnya.
Hafit menambahkan, tak hanya dengan membuka posko penyerahan, ke depan petugas juga akan melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat, agar lebih memahami, bahwa pemeliharaan ikan berbahaya telah dilarang dalam UU nomor 45 tahun 2009 dengan denda Rp1,5 miliar dan ancaman kurungan 6 tahun.
Selain itu, SKIPM Padang juga dilaporkan telah menerima 14 ekor ikan invasif/berbahaya dari Komunitas Ikan Predator Minang (KIPMI).
Kepala SKIPM Padang, Rudi Barmara, mengutarakan harapannya kepada masyarakat, agar dapat menyerahkan secara sukarela ikan peliharaan ke SKIPM Padang yang berkantor di kawasan Bandara Internasional Minangkabu, Sumbar.
Ia menyebutkan, setelah habis pada waktu yang diberikan kepada masyarakat, yakni pada 31 Juli 2018, maka pada Agustus 2018, BKIPM akan membentuk tim untuk turun ke lapangan.
Sementara itu, Kepala SKIPM Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung juga telah menemukan empat ekor ikan predator ganas jenis Arapaima gigas di salah satu rumah warga di Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah.
“Bila sampai batas waktu berakhirnya pembukaan posko ini masih diketemukan jenis ikan yang berbahaya di masyarakat, akan dilakukan penindakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ucapnya. (Ant)