Ekonomi di Ambang Krisis, Pemerintah Sibuk Siapkan Jamuan Bagi IMF

OLEH FADLI ZON

Fadli Zon - Dok. CDN

Dengan komposisi utang valas yang demikian besar, maka pembayaran beban utang, baik cicilan jatuh tempo maupun bunga, tentunya terikat pula dengan mata uang asing. Ada tiga mata uang asing yang mendominasi utang kita, yaitu dollar, Yen, dan Euro. Sehingga, dampak dari pelemahan Rupiah terhadap sejumlah mata uang asing utama pasti akan menambah jumlah utang dalam Rupiah dan menambah beban APBN.

Dalam catatan saya, jika disetarakan, jumlah utang kita dalam bentuk valas ekuivalen dengan US$109,6 miliar. Sehingga, setiap kali nilai tukar Rupiah terdepresiasi Rp100, maka jumlah utang kita akan naik lebih dari Rp. 10 triliun. Semakin besar depresiasinya, jumlah nominal yang harus kita bayar juga menjadi semakin besar.

Itu baru bab utang pemerintah, belum lagi jika kita membahas utang sektor publik secara keseluruhan yang hampir Rp. 9.000 triliun. Atau jika kita ikut memperhitungkan utang swasta yang per Februari 2018 sudah mencapai Rp2.351,7 triliun. Besar sekali risiko yang bisa kita terima akibat depresiasi nilai tukar ini. Pada saat krisis 1997/1998, kita banyak sekali kehilangan aset strategis gara-gara krisis utang ini.

Jadi, di tengah depresiasi Rupiah yang terjadi terus-menerus, pemerintah tak lagi bisa berdalih jika utang Indonesia saat ini berada pada kondisi aman. Dalih itu membohongi diri sendiri. Apalagi kalau ada yang mengatakan penyesuaian normal, mesti orang itu benar-benar tak bertanggung jawab. Jika nilai tukar Rupiah sampai tembus lebih dari Rp. 14.500, saya kira kita harus kembali bersiap menghadapi krisis ekonomi. Malah sekarang ini bisa dikategorikan awal krisis.

Lihat juga...