Konradus, Guru yang Tiada Henti Menulis

Editor: Koko Triarko

LARANTUKA – Menjadi seorang wartawan yang kemudian mengabdi menjadi guru, dan terus melahirkan tulisan yang dimuat di beberapa media nasional, tentu merupakan sebuah prestasi yang tak banyak ditekuni banyak orang.
Sosok guru penulis inspiratif, putra asli Honihama Adonara, yang saat ini tinggal di Tagerang, Banten, ini merupakan seorang penulis kawakan. Namanya sudah tidak asing lagi. Ia disapa Pak Mangu. Lengkapnya Kondradus Rupa Mangu.
“Saya mulai  termotivasi untuk menulis dari guru Bahasa Indonesia, Pak Andreas Eban Ola. Selain materi dan gaya mengajar, ia menyediakan ruang untuk kami menulis di majalah dinding (mading) sekolah. Kebiasaan menulis di mading sekolah, terus mengasah kemampuan saya untuk belajar menulis”, tuturnya, Kamis (31/5/2018).
Mangu, sapaannya, memiliki hobi membaca dan menulis sejak kecil. Dua dunia ini, saat itu sangat asing di kalangan anak-anak kampung. Sangat asing, aneh dan bisa dianggap gila. Seorang anak SD, SMP, mengumpulkan koran, majalah dari gurunya dan dijadikan sebagai bahan bacaan di rumah dan di kebun. Namun, baginya itu adalah hobi.
Hingga melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Podor, putra kedua dari delapan bersaudara ini menjadi Pemimpin Redaksi untuk penerbitan Mading di Sekolah. Akumulasi kebiasan menulis ini, mendorongnya untuk mengirim tulisan ke media.
“Tulisan pertama saya yang dimuat di koran Dian saat itu adalah sebuah Cerita Pendek (Cerpen) ‘Derita yang Tak Pernah Berakhir’. Sebuah karya imajinasi luar biasa, yang menggambarkan kebiasaan masyarakat (Kepala Keluarga) yang memilih merantau, tapi kemudian mengorbankan keluarganya,” kenangnya.
Saat tulisannya tembus di koran, bagi Mangu adalah sebuah kebanggaan dan tercatat  dalam lembaran sejarah hidupnya. Pasalnya, puluhan kali dia mengirim tulisan, namun baru kali itu lolos dan dimuat. Kebanggaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pengalaman mendapat imbalan dari karya tulisnya yang dimuat sebesar Rp7.500 dari redaksi, membuatnya  sangat aktif menulis. Tidak hanya cerpen, berita seputar pristiwa dan kejadian di desa dan kecamatan selalu ditulisnya, lalu dikirim dan dimuat.
Dalam keterbatasan menggunakan mesin ketik, mengirim via pos tidak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Pernah suatu kali, ia menulis tentang angka kematian yang tinggi di Honihama, Desa Tuwagoetobi, dan membuat geger satu kecamatan.
“Isi tulisan saya mengkritisi pelayanan Puskesmas dan pihak gereja. Itu menjadi pengalaman untuk terus memberi kabar ke publik melalui tulisan”, terangnya.
Marantau Ke Ibukota
Alumni SMPN 2 Adonara Timur Witihama ini, mengaku orang yang membuatnya tetap termotivasi dan terbantu menulis adalah figur Thomas Akaraya Sogen, yang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Guru Penulis Nasional (Agupena) Wilayah NTT.
Bagi Mangu, Thomas adalah figur yang selalu memberi teladan. Dia selalu memotivasi dan mengajar dirinya tentang menulis, mulai dari menyusun kalimat, mencari ide hingga menyusun paragraf.
“Saat di SPG tidak hanya Koran Dian yang memuat tulisan saya. Namun, beberapa majalah seperti mingguan Hidup. Kami kadang menghabiskan waktu berlama-lama, hanya berdiskusi seputar dunia menulis dan memasang target untuk setiap minggu selalu ada tulisan kami yang terekspos di koran,“ tuturnya.
Tamat dari SPG Podor, Mangu memilih mengajar di SMPS Katolik 1912, sejak 1989 sampai 1994. Pada sekolah di kampung halaman Gubernur NTT ini, dirinya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Niat yang besar untuk mengasah kemampuan di dunia jurnalis mendorongnya harus merantau ke Kupang, mencari lembaga yang dapat meningkatkan kemampuannya menulis.
“Tak butuh waktu lama, saya diterima bekerja di koran Suara Timor dan sambil bekerja di koran Timor, saya juga menjadi koresponden Majalah Travel Club pada 1998 sampai 1999,” paparnya.
Lewat ajakan temannya, Mans Balawala, mereka berdua ke Dili dan mengolah koran Novas, pimpinan Freddy Wahon. Kurang lebih 11 bulan di Dili, putra dari Mateus Kopong Bura (almahrum) ini memutuskan kembali ke kampung halaman, dan berniat mengadu nasib ke ibu kota negara, Jakarta.
Sama seperti di Kupang, niat Mangu  ke Jakarta pada 2001 juga ingin meningkatkan kapasitasnya di dunia menulis. Dengan pengalamannya menulis dan namanya sudah dikenal, dia langsung diajak bekerja oleh sang teman, Ansel Deri, menjadi wartawan majalah lingkungan hidup Ozon.
“Saya bersyukur tiba di Jakarta langsung dapat kerja. Sebagai wartawan di lapangan, setiap hari kami mencari isu-isu aktual di lapangan. Saya sering juga di kantor DPR/MPR. Sempat ditugaskan ke Surabaya peliputan di Semen Gersik, peliputan di Yogyakarta, Jawa Barat dan beberapa wilayah lainnya,” bebernya.
Setelah memiliki penghasilan, pria 49 tahun ini kemudian berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu (Sarjana). Memilih Jurusan Bahasa dan Sastra, dirinya mendaftarkan diri di Universitas Indra Prasya (Unindra) Jakarta Selatan. Semua biaya kuliah hingga sarjana dibiayai dari hasil menulis.
Tetap Menulis
Kuliah sambil bekerja, ketekunan yang ia lewati dan proses yang tak pernah letih, mengantarnya meraih gelar sarjana pendidikan pada 2010. Sejak itu, Mangu mengabdikan diri sebagai guru di SD St. Fransiskus Tebet, kemudian mengajar di SMK Setya Bahkti dan SD Setya Bahkti hingga sekarang.
Aktivitasnya dalam mengajar, tidak mematahkan semangatnya untuk terus menulis. “Hingga saat ini, saya menjadi penulis di beberapa media, di antaranya; Sahabat Pena, Travel Club, Mingguan Hidup, Majalah Praba Yogyakarta, Majalah Utusan Yogyakarta, Majalah Internasional Ucean News, pena katolik, Depoedu,” bebernya.
Dalam menulis, hal yang paling disukai ayah dari Antonius David Cristian Ama Sani ini adalah menulis profil pengalaman iman seseorang. Baginya, dengan mewawancara dan menulis profil orang seperti itu, secara tidak langsung, mendapatkan katekese gratis.
Mangu mengaku seperti turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang diwawancarai. Seorang imam dalam khotbahnya, bisa mempengaruhi orang pada ruang terbatas yang dibatasi oleh dinding gereja, sementara lewat tulisan mampu menjangkau khalayak ramai.
“Seorang bisa menjadi penulis berangkat dari adanya niat dan motivasi yang kuat untuk menulis, kemudian didukung oleh kegemaran membaca dan latihan. Membaca dan menulis seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mendukung antara satu dengan yang lain,” sebutnya.
Menjadi guru dewasa ini, tegas Mangu, harus memiliki kemampuan plus, salah satunya kemampuan menulis.
“Bagaimana bisa kita menuntut anak untuk membaca dan menulis, sementara sebagai guru kita tidak memberi contoh atau teladan?” katanya.
Guru, tandas putra dari mama Sofia Tuto ini, harus menjadi telandan, hingga jejak itu bisa diikuti oleh siswa. Rumus menulis adalah adanya kemauan dan latihan yang terus-menerus tanpa henti.
Maksimus Masan Kian, Ketua Agupena Flotim, mengaku mengenal sosok Mangu sejak kecil di kampungnya. Mereka sering memanggilnya dengan sebutan Wartawan tanpa mengetahui apa itu wartawan.
Maksi, sapaannya, sangat segan dengan sosok Pa Mangu sejak kecil dan sangat tertarik dengannya, karena kemampuannya menulis, selain menjalankan profesi sebagai seorang pendidik.
“Bagi saya, beliau adalah sosok pekerja keras yang konsisten mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan tulis-menulis hingga saat ini. Beliau merupakan sosok pekerja keras yang patut ditiru anak muda generasi sekarang,” ungkapnya.
Lihat juga...