[Review] “Pendayung Terakhir”, Kegelisahan Para Pendayung di Kota Ambon

Editor; Irvan Syafari

Sesampainya di sana, Arif langsung mendayung perahunya ke seberang untuk mendapatkan penumpang dan bertemu teman seprofesinya sesama pendayung perahu.

Sambil menunggu penumpang yang akan menyeberang, Arif bersama teman-temannya saling mengungkapkan kegelisahannya akan berkurangnya penghasilan yang mereka dapat dari hasil mendayung.

Pada adegan selanjutnya, sambil tetap menggunakan bahasa khas daerahnya, Arif mengeluh sulitnya mendapatkan penumpang dan sedikitnya penghasilan yang ia peroleh.

“Harus menunggu ber jam-jam baru bisa mendapatkan penumpang. Kalau dulu bisa mendapatkan uang 40-50 ribu rupiah, sekarang untuk mendapatkan 5 ribu saja susah” demikian kata-kata kegelisahan yang diungkapkan Arif di atas perahu sambil terus mendayung.

Karena sepi penumpang, Arif memutuskan untuk pulang dan pergi ke kebun.

Ada adegan menggelitik sebelum Arif pergi ke kebun yang menggambarkan kekecewaannya pada pemerintah sekarang. Dalam dialog tersebut, oleh sang istri, Sumiati, Arif dilarang memakai baju yang sama dengan pakaian yang biasa ia gunakan untuk mendayung, saat akan pergi ke kebun.

Sumiati justru menganjurkan agar Arif memakai baju dengan gambar presiden yang menjabat saat ini. Akan tetapi Arif menolak memakainya, karena kecewa pada sosok yang ada pada kaos tersebut.

Selain berkebun, dalam film tersebut Arif kerap mengisi kekosongan waktunya dengan menonton TV. Hanya satu saluran  televisi saja yang ia tonton. Bukan karena hanya chanel itu saja yang ada tapi karena remot TV-nya yang rusak, sehingga tidak bisa mengganti channel TV.

Adegan paling menyedihkan dalam film “Pendayung Terakhir” ada pada akhir-akhir adegan yang menyuguhkan curahan hati sang istri dan anak dari Arif.

Lihat juga...