MANILA – Senin (29/1/2018) Kepolisian Filipina memulai kembali kebijakan perang terhadap narkoba yang diinisiasi oleh Presiden Rodrigo Duterte. Dengan kebijakan tersebut, polisi menolak memberikan jaminan tidak adanya korban berdarah seperti pada pelaksanaan sebelumnya.
Polisi memulai kembali operasi anti-narkoba tersebut dengan mengunjungi rumah-rumah para pengguna dan pengedar untuk meminta mereka menyerah. Program kunjungan bernama Oplan Tokhang itu disertai dengan jaminan dari Kepala Kepolisian Nasional Ronaldo dela Rosa.
Dela Rosa menjamin operasi baru akan bebas dari kekerasan jika para pelanggar tidak melakukan perlawanan. Kebijakan anti-narkoba disebutnya tidak bisa bebas dari darah karena polisi tidak berurusan dengan orang-orang yang berpikiran waras. Dalam dialek kota asal Duterte di Davao, Tokhang merupakan kombinasi dari dua kata yaitu pukulan dan pengakuan.
Selain melakukan kunjungan, polisi juga menjalankan operasi penyamaran di mana mereka berpura-pura menjadi pembeli. Mereka juga akan menyerang sarang para terduga pengedar dan pabrik pembuatan obat-obatan ilegal.
Dalam banyak operasi anti narkoba tersebut, para aktivis pembela hak asasi manusia mengatakan bahwa para terduga tidak mempunyai kesempatan untuk menyerah. Mereka justru langsung dieksekusi sehingga tewas. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh pihak kepolisian.
Polisi bersikeras para korban tewas karena melawan upaya penangkapan dengan cara kekerasan. Sehingga polisipun melakukan upaya penindakan secara keras terhadap para penyalahguna narkoba tersebut.
Hampir 4.000 orang terduga pengguna dan pengedar narkoba di Filipina tewas oleh polisi sejak Juni 2016, tepat sesaat setelah Duterte berkuasa. Dari kubu pemerintah sendiri ada 85 orang anggota kepolisian dan tentara yang tewas karena perang narkoba itu.