Tarian Ndundu Ndake, Ungkapan Kegembiraan Masyarakat Manggarai

RUTENG – Tarian tradisional masyarakat di setiap kabupaten di provinsi NTT sangat bervariasi dan banyak tarian yang memang belum pernah memasyarakat sebab dipentaskan hanya saat upacara adat saja.

Yovita Erni Jem, pemilik Sanggar Molas Bali Belo atau perempuan yang menggunakan Bali Belo mengungkapkan, tarian Ndundu Ndake artinya tarian dengan gerakan kaki yang menghentak.

Tarian ini jelas Yovita, menunjukkan semangat dan kemandirian orang Manggarai dimana iramanya disesuaikan dengan pukulan Ndundu Dake dari gendang.

“Biasanya ditampilkan atau dipentaskan saat upacara besar seperti syukuran kampung, pelunasan belis atau upacara lainnya baik di lingkup pemerintahan atau upacara adat seperti Penti, pesta syukuran usai panen atau pergantian tahun,” ungkapnya.

Tarian Tradisional

Pina, pemilik sanggar Cias Nai Manggarai menambahkan, tarian Ndundu Ndake yang pernah ditampilkan saat penyambutan peserta Tour de Flores 2017 itu dibawakan 1.500 orang dan merupakan tarian tradisional dengan gerakan yang khas di mana penarinya dilatih selama sekitar seminggu.

Tarian ini, sebut Pina, sengaja ditampilkan sebab generasi muda sudah mulai melupakan tarian ini sebab saat upacara adat yang menarikannya hanya orang tua saja.

“Makanya kami berinisiatif memasyarakatkan kembali sebab generasi muda lebih menyukai tarian modern maupun tarian tradisional yang sudah dimodifikasi,” terangnya.

Tarian ini tandas Pina terakhir dipentaskan secara massal sekitar 30 tahun lalu dimana seingatnya saat itu dirinya baru duduk di bangku SMP sehingga pihaknya tertarik mementaskan kembali.

Pemilik sanggar tari (dari kiri ke kanan) Yovita Erni Jem, Irna Burman dan Peni Gere. Foto : Ebed de Rosary

Tujuan dipentaskan kembali lanjutnya, agar tarian ini bisa dilestarikan sehingga warisan ini bisa ada di generasi sekarang dan yang akan datang karena tarian ini hanya dimiliki masyarakat Manggarai dan tidak ada di daerah lain.

“Kami merasa terpanggil sebab sebagai pelaku seni dan pemilik sanggar kami harus melestarikan adat dan budaya Manggarai termasuk tarian tradisional,” ungkapnya.

Irna Burman pemilik sanggar Welas Songke atau bunga-bunga dalam sarung Songke menambahkan, dalam menarikan tarian ini para perempuan menggunakan Bali Belo dan Retu sebagai mahkota atau penutup kepala.

Karena tarian ini melibatkan banyak orang dan tidak semua orang memiliki Retu atau Bali Belo sehingga ada yang menggunakan Bali Belo dan ada yang memakai Retu saja karena sulit mendapatkannya.

“Kalau laki-laki wajib menggunakan sapu tangan berwarna merah yang melambangkan keberanian dan lambang cinta dimana dalam adat orang Manggarai, seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada perempuan maka dia akan memberikan sapu tangan kepada sang perempuan,” terangnya.

Sementara sarung yang dikenakan para penari, jelas Irna, dinamakan Songke dan yang membedakan antara yang dikenakan laki-laki dan perempuan terletak pada cara mengikatnya dimana laki-laki dinamakan Tengge dan perempuan Deng.

“Para penari laki-laki memakai Sapu atau Destar di kepala sementara perempuan mengenakan kebaya yang bernama Mbero dan ada muti-mutinya,” pungkasnya.

Lihat juga...