Ratoh Jaroe Semakin Populer Di Kalangan Kaum Muda Jakarta

MINGGU, 30 OKTOBER 2016

TMII, JAKARTA — Dalam perhelatan seni dan budaya tingkat nasional bertajuk Festival Tari Ratoh Jaroe 2016 memperebutkan piala bergilir Gubernur Aceh di anjungan provinsi Aceh, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) 29-30 Oktober 2016, Cendana News sempat bertemu dengan D’Gam yakni seorang pria Aceh yang pertama kali mencetuskan ide Tari Ratoh Jaroe.
Aksi sekolah dan perguruan tinggi binaan D’Gam dan Evi dalam Festival Tari Ratoh Jaroe 2016 memperebutkan piala bergilir gubernur Aceh di anjungan provinsi Aceh, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) 29-30 Oktober 2016.
Kisah tari Ratoh Jaroe dimulai ketika 16 tahun lalu, tepatnya tahun 2000, saat Jakarta kedatangan seorang pria dari Aceh bernama D’Gam untuk bekerja di Anjungan provinsi Aceh TMII sebagai pelatih tari tradisional. D’Gam kelahiran Banda Aceh 5 Februari 1977 terinspirasi akan kepopuleran Tari Saman dari Aceh yang bahkan sudah mendapatkan pengakuan dari badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bernama UNESCO sebagai tari tradisi Indonesia dari provinsi Aceh.
Melalui organisasi sanggar budaya atau Rumah budaya di anjungan provinsi Aceh, maka D’Gam memulai perjalanan panjangnya tersebut. Perlahan tapi pasti, D’Gam mulai mencari bakat-bakat muda se-Jabodetabek untuk belajar Tari Ratoh Jaroe. Dari pelajar, mahasiswa, bahkan dewasa terus dibina oleh D’Gam melalui Rumah budaya di Anjungan Provinsi Aceh TMII.
Usaha D’Gam perlahan membuahkan hasil setelah angkatan demi angkatan penari yang dibinanya mulai menyebar kembali ke masyarakat sebagai pelatih tari, baik di sekolah, perguruan tinggi, maupun perhimpunan-perhimpunan seni se-Jabodetabek.
Dalam beberapa tahun saja, kerja keras D’Gam dan kawan-kawan mulai menampakkan hasil dengan semakin populernya Tari Ratoh Jaroe di kalangan anak muda Jabodetabek khususnya Jakarta dan Tangerang. Puncak dari kerja keras D’Gam dan komunitas seniman muda bentukannya meledak pada 24 April 2016 kala 6.600 orang menarikan Ratoh Jaroe di pelataran Tugu Pancasila TMII dalam rangka memperingati Ulang Tahun TMII ke-41 tahun yang jatuh pada tanggal 20 April 2016.
“Indikator populer sebenarnya banyak sekali, akan tetapi untuk mengumpulkan 6.600 orang anak muda se-Jabodetabek sebagai penari Ratoh Jaroe bahkan sampai masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) itu merupakan indikator juga bahwa Tari Ratoh Jaroe sangat populer di sini,” tutur D’Gam kepada Cendana News.
Perjuangan seniman-seniman muda untuk mempopulerkan Tari Ratoh Jaroe juga bukan sebatas itu saja, melainkan bagaimana Tari Ratoh Jaroe dapat menyusul saudara kembarnya yakni Tari Saman untuk dipatenkan oleh UNESCO.
Hal tersebut diaminkan juga oleh Evianti Anggun Lestari atau akrab disapa Evi, wanita berusia 25 tahun yang sudah sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dibimbing D’Gam mengenal Ratoh Jaroe sampai akhirnya saat ini melatih Ratoh Jaroe di beberapa sekolah maupun universitas di sela-sela rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.
” Kami harus terus berjuang agar Tari Ratoh Jaroe mendapat pengakuan dari UNESCO, itulah titik puncak perjuangan kami,” tegas Evi kepada Cendana News.
” Jalan kearah itu sudah terbuka lebar, dalam kurun waktu 16 tahun pertumbuhan Tari Ratoh Jaroe di wilayah Jabodetabek sangat pesat, dan yang membanggakan adalah saat ini hampir seluruh SMP baik di Jakarta maupun Tangerang tidak ada yang tidak mengenal Tari Ratoh Jaroe,” sambung wanita lulusan Fakultas Kedokteran ilmu Kesehatan UIN ini kepada Cendana News.
Kegiatan sehari-hari Evi juga sudah fokus untuk menekuni dunia seni tari khususnya Tari Ratoh Jaroe. Namun begitu ternyata wanita yang juga menjadi pelatih tari Ratoh Jaroe di Stikes Widya Dharma Husada ini, ia juga bisa manarikan tarian khas Aceh lainnya bernama Rapai Geleng.
D’Gam bersama Evi dan rekan-rekan muda lainnya yang bahu-membahu mempopulerkan Tari Ratoh Jaroe
Baik D’Gam maupun Evi sendiri sama-sama sudah membulatkan tekad masing-masing untuk terus berjuang membawa Ratoh Jaroe ke tingkat selanjutnya sampai apa yang mereka cita-citakan tercapai. Dari keinginan untuk memperjuangkan Ratoh Jaroe untuk mendapat pengakuan UNESCO hingga bagaimana Ratoh Jaroe tidak hanya populer di Jakarta atau Tangerang saja, melainkan bisa populer di seluruh nusantara.
” Saya menyatakan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua rekan-rekan muda yang sampai saat ini ada dalam satu keluarga besar untuk terus mempopulerkan Ratoh Jaroe. Banyak diantara mereka bukan orang Aceh, tapi begitu peduli akan Ratoh Jaroe,” pungkas D’Gam di hadapan seluruh rekan-rekannya dan Cendana News.
Menimpali apa yang dikatakan mentornya, Evi juga tidak mempermasalahkan siapa dan dari mana asal seseorang untuk turut serta mengangkat budaya nusantara. Jika memang peduli dan memiliki keinginan kuat maka pasti bisa berbuat sesuatu untuk kelestarian budaya nusantara.
” Bang D’Gam bukan sekedar pencetus dan pemberi nama untuk Ratoh Jaroe, tapi dia juga sudah mempersatukan kami semua dari berbagai macam suku untuk mengangkat budaya nusantara khususnya Tari Ratoh Jaroe dari Aceh,” pungkas Evi.
Apa yang dilakukan anak-anak muda penerus bangsa ini untuk melestarikan budaya nusantara adalah salah satu contoh positif bagi generasi muda lainnya di negara ini. Contoh persatuan dari berbagai suku untuk mengangkat budaya dari daerah tertentu adalah wujud nyata kebhinnekaan pemuda Indonesia. Dan tugas pemerintah, khususnya pemerintah provinsi adalah terus bersinergi untuk memberikan dukungan penuh bagi anak-anak muda tersebut.
Sejauh ini apa yang dilakukan D’Gam dan rekan-rekannya sudah mendapatkan sinergi positif dari pemerintah provinsi Aceh melalui Anjungan provinsi Aceh di TMII. Semoga apa yang dicita-citakan oleh mereka semua dapat terwujud di kemudian hari.

Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : ME. Bijo Dirajo / Foto : Miechell Koagouw

Lihat juga...