SENIN, 26 SEPTEMBER 2016
JAKARTA — Saat detak jantung megapolitan melaju kencang di siang hari, sebuah bangunan mungil berdiri gagah, tegap, namun tampak bersahaja mengamati apa saja yang terjadi di depannya. Bangunan tersebut adalah sebuah bangunan lama bernama Museum Dharma Bhakti Kostrad yang menjadi satu dengan bangunan modern di belakangnya yakni Markas Besar Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) Jakarta.
Museum Dharma Bhakti Kostrad merupakan peninggalan Kantor Komisaris Belanda yang didirikan pada tahun 1870. Setelah lahirnya Kostrad yang merupakan cikal bakal Korra-1/Caduad pada tanggal 6 Maret 1961, bangunan ini digunakan sebagai Kantor Panglima Kostrad (Pangkostrad) pertama yaitu Mayjen TNI Soeharto.
Sebelum dialihfungsikan sebagai museum, bangunan tersebut juga tempat berkantornya Pangkostrad II sampai dengan Pangkostrad XII. Gedung lama peninggalan Belanda ini adalah saksi bisu Pangkostrad I kala itu Mayjen TNI Soeharto merancang operasi penyelamatan terhadap Pemimpin besar Revolusi Presiden Soekarno dari usaha kudeta PKI, pencarian korban keganasan PKI, sekaligus penyusunan strategi penumpasan PKI dari bumi Indonesia.
Ide mengubah markas Kostrad lama menjadi museum diprakarsai oleh Pangkostrad X Mayjen TNI Wiyogo Atmodarminta pada tahun 1980. Seiring bergantinya waktu, maka perencanaan akhirnya berkembang menjadi realisasi. Oleh karena itu, maka tahun 1981 Pangkostrad XII Letjen TNI Rudini memutuskan untuk menjadikan markas Kostrad lama sebagai museum dengan nama Museum Dharma Bhakti Kostrad yang diresmikan pada 4 Maret 1997 oleh Presiden kedua RI, HM.Soeharto.
Tercatat Museum Dharma Bhakti Kostrad yang menyatu dalam lingkungan Kesatrian Markas Kostrad ini sudah mengalami 4 (empat) kali renovasi, yaitu :
1. Tahun 2004, mengalami penataan ulang ruangan.
2. Tahun 2007, mengalami perbaikan/penggantian atap serta penggrafiran pada dinding marmer lorong ruangan utama akan nama-nama prajurit Kostrad yang gugur di daerah-daerah operasi militer di seluruh indonesia.
3. Tahun 2011, mengalami penataan kembali untuk ruangan-ruangan yang ada berikut perubahan warna cat genteng, pintu, dan jendela.
4. Tahun 2011 hingga 2012, kembali dilakukan penataan ruang berikut penyamaan warna dinding dalam ruangan.

Sampai berita ini diturunkan, bagian belakang museum juga sedang mengalami renovasi khususnya tempat dimana prasasti peresmian Museum yang berhadapan langsung dengan lobby gedung baru Markas Besar Kostrad.
Museum Dharma Bhakti Kostrad berada dalam naungan Mabes Kostrad dan dikepalai oleh Kapten inf. Munir sebagai Kepala Museum (Kamus) dari bagian Bintal (Pembinaan mental) Kostrad dibantu Staf museum Sertu Asep Romdhoni Q.Z. dari bagian Baharmat (Bintara pemeliharaan dan materiil) Kostrad.
Memasuki lorong utama museum, pengunjung langsung berhadapan dengan grafir marmer akan nama-nama Pangkostrad sejak pertama hingga sekarang. Setelah itu pengunjung akan memasuki Ruang Serambi Pahlawan dimana pada sisi kiri dan kanan dinding yang terbuat dari marmer tersebut terpatri nama ratusan prajurit Kostrad yang gugur dalam operasi-operasi militer dari operasi Trikora, Dwikora, Seroja, Kalimantan, Aceh, hingga operasi Atambua/NTT.
“Dari ratusan nama di dinding ini, prajurit Kostrad yang paling banyak gugur adalah saat operasi Seroja Timor Timur, yaitu diatas empat ratus prajurit,” terang Kepala Museum (Kamus) Kapten Munir yang ternyata merupakan salah satu veteran operasi Seroja untuk empat tahun penugasan.
Meninggalkan Serambi Pahlawan maka pengunjung memasuki ruangan pertama bernama Ruang Panglima. Ruangan ini sebelumnya adalah ruang kerja Pangkostrad I sampai Pangkostrad X. Pada era Pangkostrad XI sampai dengan XII ruang ini dijadikan ruang Kodal Pangkostrad. Di ruangan ini pula Jenderal AH Nasution memberikan dukungan kepada Mayjen Soeharto (Pangkostrad I) untuk mengambil alih pimpinan Angkatan Darat disaat keadaan genting akibat pengkhianatan PKI 1965. Selain itu, juga terdapat meja pertemuan yang pernah digunakan Mayjen Soeharto memimpin rapat perencanaan pengamanan Presiden Soekarno dan pencarian korban G30S/PKI serta pengendalian pasukan yang terlibat dalam penumpasan PKI tahun 1965.
Ruang Panglima dilengkapi dengan diorama saat Mayjen Soeharto bertemu Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dari RPKAD dengan disaksikan Jenderal AH. Nasution. Furniture didalam ruangan ini adalah furniture asli peninggalan di era tersebut baik dari meja rapat/pertemuan, meja kerja panglima, bahkan sampai pesawat telepon yang digunakan masih terawat dengan baik.

Ruang Panglima langsung terhubung dengan Ruang Data dimana terpampang berbagai bukti sejarah pengabdian prajurit-prajurit Kostrad dalam melakukan latihan dalam dan luar negeri, operasi kemanusiaan untuk bencana alam serta kecelakaan besar nasional, tugas operasi militer dalam negeri, sampai tugas operasi luar negeri.
“Untuk operasi luar negeri maka prajurit Kostrad juga banyak terlibat dalam pasukan Konga (Kontingen Garuda) yang adalah anggota pasukan perdamaian dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB,” terang Staf Museum, Sertu Asep Romdhoni Q.Z. yang juga baru selesai menunaikan tugas sebagai anggota Konga XXIII/I tahun 2015.
Beranjak dari Ruang Data, maka pengunjung dibawa ke Ruang Waka Kas (Wakil Kepala Staf) berisi peralatan komunikasi yang pernah digunakan Kostrad saat operasi militer seperti operasi Seroja, Trikora, Dwikora, Irian Jaya 1979, dan penumpasan G30S/PKI.
Koleksi menarik lain yang dipamerkan di ruangan ini adalah :
1. Empat tongkat Komando yang pernah digunakan Pangkostrad I Mayjen TNI Soeharto.
2. Tongkat Komando Pangkostrad XVI Letjen TNI Sugito dan penutup kepala Letkol Inf Sugito kala bertugas dalam operasi militer Timor Timur tahun 1975.
3. Samurai peninggalan Jepang yang dihibahkan oleh Pangkostrad XIII Jenderal TNI George Toisutta kepada Museum Darma Bhakti Kostrad
Dari Ruang Waka Kas dengan beragam koleksi menariknya, selanjutnya pengunjung dibawa masuk ke Ruang Kaskostrad (Kepala Staf Kostrad) yang berisi deretan foto Pangkostrad serta Kaskostrad sepanjang masa.
Diruangan ini ditempatkan pula diorama menarik saat Batalyon 328 Kostrad sebagai Pasukan Kostrad pertama yang melaporkan diri sekaligus mengucapkan ikrar kesetiaan mereka kepada Pancasila, Sumpah Prajurit dan Sapta Marga didepan Pangkostrad I Mayjen Soeharto kala suasana negara sedang genting akibat pemberontakan G30S/PKI 1965.
“Dalam diorama ini digambarkan ketika Danyon 328 Mayor inf Ali Rachman yang juga belum lama kembali bersama pasukannya dari Kalimantan timur dalam operasi Dwikora melaporkan keadaan dan keberadaan pasukannya sekaligus ikrar setia mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila,” jelas Kamus Kapten inf. Munir terkait diorama kepada Cendana News.
Ruangan terakhir setelah Ruang Kaskostrad adalah sebuah ruang penghargaan tertinggi bagi Pangkostrad I yang berisi pengabdian seorang Jenderal Besar TNI HM. Soeharto sebagai Prajurit Kostrad (Pangkostrad I) sampai menjabat sebagai Presiden kedua RI. Didalam ruangan ini turut pula diletakkan diorama saat Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin langsung operasi pengangkatan korban peristiwa G30S/PKI dari dalam Sumur maut Lubang buaya, Jakarta Timur.
” Ada wejangan kuat Pak Harto semasa menjadi Presiden yang bagi saya merupakan salah satu hal yang harus dijadikan acuan bagi setiap orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi para prajurit Kostrad dan TNI pada umumnya yaitu aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan,” lanjut Munir kepada Cendana News sambil menunjuk kesebuah tulisan di pojok dinding.
Wejangan diatas memiliki arti luas bahwa bila seseorang ingin berhasil dalam kehidupan bermasyarakat maka keyakinan pada diri sendiri harus dipupuk dan dibina. Dengan bekal tersebut seseorang tidak akan mudah untuk lekas menjadi terkejut, lekas menjadi keheranan, bingung, dan tidak akan merasa lebih baik dari orang lain serta menjadi congkak atau sombong karenanya (lebih tahu, lebih pandai, lebih berkuasa, dan lain sebagainya).
“Bagi saya pribadi, wejangan tersebut merupakan penjabaran dari Pancasila yang juga berisi pemahaman dari wejangan itu sendiri, sehingga museum ini benar-benar lengkap. Maksudnya lengkap adalah, selain berisi sejarah dan semangat pengabdian Kostrad akan tetapi disini seseorang juga bisa belajar dari para pendahulunya yang luar biasa,” pungkas Munir.

Dipenghujung kunjungan ke Museum Dharma Bhakti Kostrad muncul sebuah pemikiran bahwa hidup dan pengabdian merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Dan sebagai seorang warga negara maka sudah seharusnya pengabdian kepada negara menjadi suatu hal yang adalah keharusan.
Pengabdian itu bukan hanya sebatas mengorbankan nyawa untuk negara, akan tetapi mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya sebagai seorang manusia berjiwa Pancasila sejati sudah merupakan sebuah pengabdian luhur bagi bangsa dan negara.
Prajurit-prajurit Kostrad serta seluruh prajurit TNI pada umumnya sudah melakukan pengabdian yang melewati batas pengabdian seorang warga negara karena mereka mengorbankan segala-galanya demi bangsa dan negara ini.
Dan Museum Dharma Bhakti Kostrad merupakan saksi bisu perjalanan, kesetiaan, dan pengabdian ikhlas kepada Pancasila dan UUD 1945 dari para prajurit Kostrad pemberani sepanjang masa.
[Miechell Koagouw]