SELASA, 17 MEI 2016
PONTIANAK — PT Kanisus Yogyakarta menerbitkan buku biografi Franciscus Conradus Palaunsoeka, pendiri Partai Persatuan Dayak (PPD), pendiri Harian Kompas, dan salah satu tokoh Provinsi Kalimantan Barat yang berperan dalam proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tahun 1975.

Yohanes Eugenio Ranggau Barani, salah satu putra F. C. Palaunsoeka, menjelaskan buku ditulis Aju, seorang wartawan, setebal 233 halaman dilengkapi foto kenangan selama almarhum berkiprah di PPD, Partai Katolik hingga di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, 1948 – 1988.
“Buku berjudul: F. C. Palaunsoeka, Pendiri Partai Persatuan Dayak dan Harian Kompas akan diluncurkan dan dibedah di Ballroom Hotel Santika, Pontianak, Kamis (19/5/2016), menghadirkan dua narasumber, yani DR Gregorius Budi Subanar SJ, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan Drs Soedarto, sejarawan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat,” kata Yohanes, dalam siaran pers yang diterima di Kota Pontianak, Selasa (17/5/2016).
Menurut rencana, bedah buku akan dibuka Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis. Sementara mantan Uskup Agung Pontianak, Mgr Herculanus Hieronymus Bumbun OFM Cap, akan berkenan memberikan pesan dan kesan, karena sangat mengenal Palaunsoeka semasa hidupnya.
Fransiskus Conradus Palaunsoeka lahir di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, 19 Mei 1923 dan meninggal dunia di Pontianak, 12 Agustus 1993. Palaunsoeka pada mulanya berkarir sebagai guru di salah satu sekolah Katolik di Kalimantan Barat.
Atas desakan berkali-kali Pastor Adikarjana SJ, seorang biarawan pribumi yang lolos dari sekapan tentara Jepang, Palaunsoeka, mendirikan Dayak in Action (DIA) tanggal 30 Nopember 1945 dan kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946.
PPD menghantarkan Palaunsoeka menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, periode 22 Desember1948 – hingga di-recall Soerjadi dan Nicolaus Darjanto, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) terhitung 26 Maret 1988.
Setelah PPD resmi dibubarkan tahun 1963, karena tidak mencapai ketentuan, minimal berada pada 5 provinsi, Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik, sehingga menghantarkannya mengenal banyak tokoh nasional.
Selama menjadi anggota DPR, Palaunsoeka, bersama Frans Seda, Jacob Oetama, dan lain-lain mendirikan Harian Pagi Kompas, atas anjuran Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan disetujui Presiden Soekarno, terhitung 28 Juni 1965.
Pendirian Harian Pagi Kompas, bertujuan mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat. Saat pertama kali terbit, jabatan Palaunsoeka di Harian Kompas adalah Penulis I, sedangkan Jacob Utama sebagai Penulis II yang sekarang setara dengan Pemimpin Redaksi.
Lantaran sibuk di bidang politik bersama Frans Seda, maka Palaunsoeka meninggalkan harian Kompas tahun 1970.
Lima tahun kemudian, 1975 hingga 1982, Palaunsoeka menjadi staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara khusus sebagai tenaga analis pergerakan komunis di Eropa Timur.
Palaunsoeka, merupakan salah satu politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Indonesia tahun 1975.
Kiprah Palaunsoeka di bidang politik, dapat dijadikan panutan bagi generasi penerus, karena tidak tamak akan kekuasaan.
Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, DR Clarry Sada mengatakan, dari buku biografi Palaunsoeka, banyak hal-hal yang selama ini belum diketahui masyarakat luas.
Di antaranya, tanggal 18 Nopember 1959, Palaunsoeka pernah mengirim surat kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut, agar mendukung Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray untuk diangkat kembali menjadi Gubernur Kalimantan Barat. J. C. Oevaang Oeray memang menjadi Gubernur Kalimantan Barat selama enam tahun, 1960 – 1966.
“Tahun 1976, ketika masih menjadi anggota DPR dan merangkap menjadi staf ahli BIN, Palaunsoeka pernah menolak tawaran Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Indonesia di Meksiko, sehingga pilihan kemudian jatuh kepada Benedictus Mang Reng Say,” ujar Clarry Sada.
[Aceng Mukaram]