RABU, 6 JANUARI 2016
Jurnalis: Charolin Pebrianti / Editor: Sari Puspita Ayu / Ilustrasi: Charolin Pebrianti
SURABAYA—Bagi sebagian masyarakat aktif di media sosial (medsos) membawa kesenangan tersendiri. Banyaknya medsos seperti twitter, facebook, instagram, path dan lain-lain bisa menjadi tempat atau wadah para penggunanya untuk berekspresi dan berkomentar. Namun, bagi psikolog hal tersebut menunjukkan bahwa si pengguna yang aktif di medsos adalah tipe orang/pribadi yang suka diperhatikan.
![]() |
Ilustrasi: Seorang perempuan yang sedang aktif di medsos melalui ponselnya |
Psikolog Universitas 17 Agustus1945 (Untag) Surabaya, Karoline Rumandjo menerangkan, ada banyak indikasi pengguna medsos yang berisi hinaan dan hujatan merupakan tipikal orang yang butuh didengar dan diperhatikan.
“Kebutuhan didengar dan diperhatikan akan dicapai setiap orang dengan caranya masing-masing. Namun khusus untuk para “penghujat” mereka mencoba memenuhi kebutuhan ini dengan jalan menghujat,” jelas Karoline, Rabu (6/1/2016).
Terkadang si penghujat juga mendapat respon positif dari teman-teman di medsosnya, sehingga timbul rasa mendapatkan pengakuan dari khalayak dan ada rasa puas tersendiri.
“Saya lebih sering menyebut situasi hujat menghujat di medsos dengan nama ‘mematikan rasa sayang’,” tegasnya.
Ia menambahkan, kegiatan menghujat ini dinilai pelakunya sebagai hal yang wajar karena yang dihadapi yakni benda mati seperti telepon genggam dan komputer. Komentar berupa kalimat, akan memberikan intonasi menurut mereka sendiri. Hal ini semakin memicu konflik dan semakin menurunkan kepekaan untuk “merasakan” apa yang dirasakan orang lain.
“Mereka akan fokus dari semua komentar dan opini didalam aktifitas hujat menghujat yang akhirnya bermuara pada ‘saya yang benar, saya yang hebat, inilah saya’,” tegasnya.
Menurut Karoline, individu yang matang secara psikologis dan sudah terpenuhi kebutuhannya untuk diperhatikan tidak akan melakukan hal ini atau menggunakan media sosial dengan bijak.
“Apakah penghujat di medsos orang gila? Saya rasa butuh tes lanjutan untuk itu, tidak semua yang ‘aneh’ dianggap gila,” pungkasnya.