![]() |
salah satu anak sungai mati melintasi areal sawah desa Umadui |
CENDANANEWS (Denpasar) – Desa Umadui, sebuah desa pertanian yang berada di lintasan Sungai Mati Pintu Bendungan Umadui. Nama Desa berasal dari kata Umah (rumah) dan dui (duri), artinya rumah berduri.
Sejak jaman dahulu rumah-rumah di desa Umadui dilengkapi dengan pagar berduri. Mulai dari semak belukar berduri, tumbuhan menjalar berduri, sampai bunga-bunga berduri digunakan sebagai hiasan pagar rumah untuk memagari bala jahat masuk ke dalam rumah. Begitulah kepercayaan masyarakat Umadui.
Namun seiring pembangunan Bali terutama kota Denpasar, sekarang sudah tidak ditemukan lagi karena berganti dengan tembok-tembok kokoh.
Salah satu yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, yakni Sungai Mati yang menjadi tumpuan hidup warga. Dinamakan Sungai Mati karena siapapun tidak mengetahui ujung hulu dan hilirnya.
Desa Umadui berada tepat di pertemuan dua anak Sungai kecil yang disebut Campuhan, dimana air sungai tersebut dipercaya warga Bali khususnya Desa Umadui adalah Suci.
Gusti, pria asli Desa Umadui mengatakan ada keterikatan spiritual yang takkan pernah hilang antara Sungai Mati dan Desa Umadui. Sungai ini memberi kehidupan dan kebahagiaan bagi penduduk, dan hal itu harus dijaga keseimbangannya.
Maksudnya, jagalah kesucian sungai dengan rutin mengadakan persembahan upacara adat berikut kebersihannya, yaitu tidak mengotori sungai dengan sampah maupun kelakuan-kelakuan manusia yang tidak semestinya disekitar sungai.
Ada kepercayaan masyarakat Bali di Umadui jika ada pengantin baru warga desa Umadui menikah dengan warga luar desa maka jangan melintas di jembatan sungai mati (sekarang jembatan jalan Gunung Soputan) di tiga bulan awal masa pernikahan tanpa memberikan persembahan adat. Konsekuensinya adalah bencana bagi kedua mempelai.
” sudah banyak kejadian nyata di jembatan ini. Dari kecelakaan sampai perceraian tiba-tiba. Karena di bawah jembatan inilah Campuhan Sungai Mati itu. Kepercayaan leluhur kami adalah jangan pernah melanggar kearifan adat setempat di atas tempat suci,” Urai Kadek Cenik, rekan Gusti.
Pendangkalan yang terjadi di sungai mati membuat warga desa Umadui gelisah. Mereka menyesalkan kejadian tersebut namun tidak mengerti harus menyalahkan siapa. Yang mereka takutkan adalah keseimbangan alam yang selama ini mereka jaga akan rusak dan membuat alam murka.
” apalagi sungai ini tepat di samping Setra (pemakaman bali) Gandamayu Dalem Umadui, jadi wajar saja jika kami mengkhawatirkan sesuatu,” ujar Ketut rekan sepermainan Gusti dan Kadek Cenik sejak kecil.
Jika Pemerintah Kota tidak kunjung merealisasikan pengerukan, maka warga desa setempat yang akan melakukannya. Dengan atau tanpa peralatan canggih serta dana pemerintah, mereka akan bergotong-royong menata kembali keseimbangan yang terdegradasi antara Warga Desa Umadui, Sungai Mati, dan alam Sekitarnya.
” Biarlah orang lain menganggap remeh hal ini, asalkan kami tidak. Inilah adat dan kearifan lokal kami, singkatnya inilah Kami,” ucap Kadek Muliawan, penjaga bendungan Umadui sekaligus teman sejak kecil dari Gusti, Ketut, dan Kadek Cenik.
![]() |
kiri ke kanan : Ketut, Gusti, Kadek Cenik, Kadek Muliawan |
![]() |
campuhan tepat dibawah jembatan dengan warga desa bersantai ditepinya |
——————————————————-
Kamis, 4 Juni 2015
Jurnalis : Miechell Koagouw
Fotografer : Miechell Koagouw
Editor : ME. Bijo Dirajo
——————————————————-