Kais Lumpur Tambak Begini, Para Peleles Mengais Rejeki

Meleles Udang
CENDANANEWS– Dengan berbekal kantong plastik,baju rangkap yang berfungsi sebagai kantong, Umini(36) dan kedua anaknya yang masih bersekolah di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah pertama (SMP) berbaur dengan puluhan orang yang dikalangan warga petambak dinamakan peleles(Jawa:mengambil sisa-sisa panen) udang. Ia meleles untuk sekedar mendapat uang sebesar Rp 20.000,- untuk bertahan hidup, berlumurkan lumpur.
Sebelum berkotor-kotor dengan Lumpur sebagai bagian aktifitas leles, ibu ini mengamati setiap jengkal lumpur tambak yang kemungkinan besar ada udang yang masih tertinggal. Sedangkan pemilik tambak biasanya mengawasi peleles ini agar berada di belakang pekerja yang memanen udang budidaya mereka.
“Dua tahun lalu saya pertama  kali  menjadi peleles. Pernah saya dimarahi  oleh pemilik tambak. Bahkan pernah ada yang mengacungi golok karena tidak suka kami mencari sisa udang di lahan tambak mereka, “ ujar Umini kepada Cendananews.com di sela sela mengais lumpur.
Ia dalam kesehariannya  memang tak memiliki pekerjaan tetap. Hal tersebut karena ia tak mempunyai lahan sawah atau kebun bahkan tambak yang harganya bisa  mencapai puhan juta. Maka ia hanya bisa melakukan pekerjaan yang terkadang dibenci oleh para pemilik tambak tersebut. Biasanya dalam  sehari ia bisa mendapatkan berkilo-kilo udang lelesan dari puluhan hektar tambak yang panen. Meskipun kadang panen udang tidak bersamaan.
Menurut Andi (12) putera keduanya yang masih duduk di bangku SD kelas 4. Yang membuat mereka dibenci karena terkadang mereka tidak dianggap  mengganggu terutama ketika merek tak mendengarkan perintah agar tidak turun dari tanggul tambak sebelum pemilik tambak dan pekerja selesai mengambil udang panennnya.
Mereka yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak tersebut terkadang justru turun ke tambak ketika para pekerja pemilik tambak belum selesai memanen. Akibatnya tak jarang  mereka diusir. Tapi lama kelamaan pemilik tambak agaknya mulai memahami mereka yang tak mempunyai pekerjaan dan sekedar mengais rejeki di lumpur tambak yang baru mereka panen.
Andi selalu ada di samping ibundanya untuk mencari udang. Ia melakukan hal itu di saat libur sekolah sehingga tak mengganggu sekolahnya. Hasilnya biasanya dijual  pada pengepul yang siap membeli lelesan mereka. Harganya pun berfariasi karena akan dijual lagi oleh pengepul tersebut. Ia kadang mendapat udang jenis windu,udang api dan udang sayur.
“Saya lakukan  pekerjaan ini untuk mengepulkan asap dapur. Anak saya semuanya saya ajak agar bisa belajar mencari uang untuk sekedar jajan dan menabung untuk biaya sekolah. Maklum tak ada pekerjaan lain di sini, tak ada pabrik, yang  bisa kami lakukan untuk dapat uang  dengan meleles, “ ujarnya.
Ibu yang tegar tersebut berharap agar anak-anaknya bisa sekolah sampai lulus. Ia ingin anak-anaknya kelak bisa bekerja agar tak terus menerus hidup susah. Meskipun bergumul dengan lumpur untuk mendapat uang yang kadang tak pasti tapi ibu tiga anak ini tetap semangat. Tak peduli panas dan muka berlumur lumpur.
Hidup diantara pemodal yang memiliki puluhan hektar lahan tambak. Mereka terhimpit di tengah kampungnya sendiri. Meskipun tinggal dan menjadi warga setempat namun tambak tambak luas tersebut bahkan bukan milik warga lokal melainkan milik orang orang berduit yang bahkan konon ada yang dari Jakarta dan juga beberapa tempat lain. Sebuah ironi yang tersaji.
Lihat juga...