#KaburAjaDulu dan Nasionalisme TKI

Di antara tuntutan-tuntutan itu terdapat satu tuntutan masuk akal. Meminta Presiden Prabowo menerbitkan Perppu Perampasan Aset Koruptor. Selebihnya tuntutan normatif. Menolak kebijakan tanpa riset. Meminta efisiensi struktur kabinet. Hingga penolakan dwi fungsi ABRI.

Absurd-nya tuntutan itu memperkuat asumsi selama ini. Aksi-aksi itu ekspresi kekecewaan saja dari proses politik yang telah berlangsung. Momentum pilpres dan pilkada. BGM: barisan gagal move on.

Aksi “Indonesia gelap” memunculkan narasi #KaburAjaDulu. Mengasingkan diri ke luar negeri maksudnya. Campaign itu bisa bermakna positif. Bisa juga negatif.

Ke LN untuk menghindari tuntutan hukum tidak dibenarkan. Begitu pula untuk menyelamatkan aset hasil korupsi. Juga jika hanya menghamburkan uangnya di LN. Tipikal hedonis.

Jika ajakan #KaburAjaDulu dimaksudkan untuk bekerja, tentu bagus. Bahkan bukan sesuatu yang baru. TKI (Tenaga Kerja Indonesia) sudah lebih dulu kabur dan bekerja di LN. Kabur untuk tujuan seperti ini harus didorong. Mereka pahlawan devisa.

Sumbangan devisa Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai US$ 14,22 miliar. Setara Rp 230,81 triliun. Sepanjang tahun 2023. Angka itu berdasarkan data BI.

Mereka bekerja di berbagai sektor. Formal: manufaktur, konstruksi, perhotelan dan pariwisata, Kesehatan dan Teknologi Informasi (TI). Sedangkan sektor informal meliputi: pekerja rumah tangga (PRT), pertanian, perikanan, jasa kecantikan.

Pemerintah justru perlu mendorong peningkatan SDM. Mentransformasikan generasi TKI sektor informal menjadi sektor formal. Agar tingkat kesejahterannya meningkat.

Krisis demografi di sejumlah negara maju seperti Jepang menjadi peluang bagi tenaga profesioal Indonesia. Selain mendorong kemajuan dalam negeri, pasar kerja LN tidak bisa diabaikan.