Kritik, Cercaan dan Doa Keburukan untuk Bangsa

Apa salahnya?. Bukankah itu cerminan demokrasi. Maka narasi “kritik membangun” era orba harus di dekonstruksi. Prinsip ”kritik membangun” itu merupakan pembungkaman terhadap kekebasan berekspresi?.

Kita bisa mencermatinya dari realitas sosial dan perspektif spiritual. Pergeseran tradisi kritik menjadi cercaan mencerminkan realitas sosial bahwa kecakapan teknis masyarakat dalam menyikapi isu-isu kebangsaan sangat rendah. Selain juga mencerminkan kadar akhlak diskursus publik yang rendah pula.

Kapasitas terpasang intelektual publik tidak cukup kompeten dalam membangun animo korektif berbasis argumentasi yang kuat. Terciptalah frustasi sosial yang diluapkan melalui beragam cercaan maupun sumpah serapah.

Kondisi tersebut juga mencerminkan rendahnya akhlak publik. Terbukti tidak ada perlawanan berarti terhadap budaya cercaan dan sumpah serapah dalam responsinya atas problem bangsa. Terjadi pada masyarakat ber-Tuhan.

Sedangkan secara spiritual, budaya cercaan dan sumpah serapah bisa bermakna doa kolektif. Sebagaimana sering kita dengar, “kata adalah doa”.

Berdasar keterangan hadits riwayat Ibnu Umar, Rosulullah Muhammad SAW., selalu menghindar dari kata-kata yang terkesan jorok atau kasar. Apalagi jorok dan kasar. Tentu ditinggalkan.

Rosulullah juga diam seribu bahasa ketika ditanyakan seseorang bagaimana cara menyikapi jika keluarganya selingkuh. Pertanyaan itu sebuah pengandaian. Belum terjadi. Selang beberapa waktu orang itu datang ke Rasulullah. Ia menceritakan kasus yang ditanyakan itu ternyata menimpa dirinya (HR Muslim: 1493).

Begitupula dengan kisah orang Badui yang sakit panas. Oleh Rasulullah dikatakan sakitnya tidak apa-apa dan menjadi penghapus dosa. Si Badui tidak percaya. Justru menganggap penyakitnya menimpa orang-orang tua dan mengantar pada kematian. Besoknya si Badui itu meninggal. Sebagaimana HR Al-Bukhari 3616).

Lihat juga...