Kekerasan Jadi Masalah Utama ABK Indonesia di Kapal Asing

“Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara di Asia Tenggara adalah ladang subur bagi rekrutmen ABK yang bekerja di kapal ikan asing, khususnya kapal ikan jarak jauh,” katanya.
Afdillah pun meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah diplomasi, guna memastikan perlindungan para pekerja migran di atas kapal perikanan.
“Indonesia sebagai pengirim tenaga kerja terbanyak di Asia Tenggara harus proaktif melakukan langkah-langkah diplomasi, dengan mendesak negara-negara terkait seperti negara pemilik kapal, negara pelabuhan dan negara industri pengolahan ikan untuk memastikan perlindungan kepada para pekerja migran di atas kapal perikanan,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua umum SBMI, Hariyanto Suwatrno, menyayangkan kerja aparat penegak hukum yang lamban dalam menyelesaikan kasus perdagangan orang ABK. Menurut catatan SBMI, banyak kasus yang dilaporkan sejak 2014 yang belum tuntas hingga hari ini.
“Aparat penegak hukum harus responsif dan tunduk pada Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Jika mengacu pada undang-undang tersebut, ada dua hal yang harus dipastikan, yakni korban mendapatkan hak restitusi dan pemenjaraan terhadap pelaku,” kata Hariyanto.
Selain hak restitusi, untuk korban dan penindakan terhadap pelaku, Hariyanto juga menyoroti lemahnya upaya pencegahan agar tidak ada lagi ABK Indonesia yang menjadi korban.
“Makin banyak yang berangkat dan tanpa sadar bahwa ia menjadi korban TPPO. Ketika mereka sudah berangkat (dan mengalami kekerasan), mereka susah mendapat bantuan hukum. Dan, karena prosesnya panjang, ini membuat kejenuhan dan mempersulit upaya memperoleh haknya. Akhirnya mereka menjadi korban dua kali,” pungkasnya.