Cegah Perubahan Iklim dengan Kebijakan Berbasis Peningkatan Resiliensi

Redaktur: Muhsin Efri Yanto

Kementerian, lanjutnya, juga jarang memberi peluang pada pegiat iklim untuk membagi pengetahuan dan data yang didapatkan di lapangan.

“Padahal dengan adanya sharing pengetahuan dan data maka akan bisa membangun kapasitas, baik sumber daya manusia maupun kelembagaan sesuai dengan target yang diharapkan. Bahkan harusnya sektor swasta pun turut terlibat,” tandasnya.

Pengamat Kebijakan dari Lembaga Kemitraan yang juga merupakan Dosen Hukum Internasional Universitas Hasanuddin, Laode M. Syarief menyatakan bahwa secara geografi, Indonesia termasuk kategori rentan bencana.

“Tapi mayoritas bencana itu lebih pada akibat kegiatan industri manusia. Misalnya banjir, longsor, turunnya permukaan air tanah. Kalau gempa atau erupsi mungkin itu memang lepas dari kemampuan manusia,” kata Syarief dalam kesempatan yang sama.

Sebagai contoh, saat penurunan kemampuan alam ditambah dengan perubahan iklim, maka salah satu yang harus kita hadapi adalah siklon.

“Harusnya pemerintah waspada, dengan menerapkan kebijakan yang tepat. Jangan seperti sekarang, dimana kebijakan tidak dibuat untuk meningkatkan resiliensi,” tuturnya.

Syarief menyatakan kebijakan Indonesia, baik UU maupun peraturan yang berada di bawah UU, yang bersifat horizontal maupun vertikal banyak yang tumpang tindih.

“Akibatnya, tidak ada koordinasi dan tidak sinkron yang memperburuk resiliensi. Contohnya, ada tumpang tindih kewenangan, lalu pemerintah membuat UU Cipta Kerja. Yang akhirnya menabrak UU Lingkungan dan mengorbankan perlindungan resiliensi masyarakat,” ujarnya.

Contoh lainnya, bencana yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam berlebih dan pembiaran praktik ilegal, bukannya dijawab dengan kebijakan tepat, malah mempercepat UU Minerba.

Lihat juga...