Ragam Budaya di Calon IKN, Cerminan Kebhinekaan Indonesia
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
Eksplorasi minyak bumi sendiri, baru dimulai 1897 oleh Nederlandsch Indische Industrie en Handel Maatschapij, dengan tokohnya JH Menten. Lalu dibangun sumur-sumur yang diberi nama sesuai dengan nama anak Menten, yaitu Louise, Mathilda dan Nonny dengan sistem konsesi.
“Peradaban di masa Islam, Kolonial Belanda dan paska kemerdekaan ini lah akhirnya yang menghasilkan beragam etnis. Penduduk autochon yaitu Etnis Dayak dengan sub-etnis misal Ot-Danum, Punan, Apo-Kayan, Murut yang memeluk agama Islam atau Kristen mulai meninggalkan adatnya dan menyebut dirinya dengan nama berbeda. Misal Suku Paser, Suku Banjar atau Suku Kutai,” papar Truman lagi.
Sementara penduduk allochton, yang muncul saat industrialisasi kolonial dan transmigrasi di masa kemerdekaan, berasal dari berbagai etnis, yaitu antara lain Bugis, Banjar, Bajo, Mandar, Makassar, Jawa, Toraja, Manado, Madura dan Tionghoa.
“Dari hasil penelitian di lapangan, interaksi autochon dan allochton ini, benar-benar tidak ada masalah saat ini. Pengelolaan sumber daya dilakukan secara adat dan persetujuan bersama, toleransi yang tinggi dimana setiap adat budaya memiliki hak untuk menjalankan adatnya dan pemanfaatan sumber daya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan,” ujarnya.
Dengan latar belakang ragam budaya ini, Truman menyatakan dalam membangun IKN haruslah mengedepankan karakteristik demografi sosial yang sarat akan kemajemukan dan toleransi.
“Harus diciptakan ruang-ruang budaya yang mengiringi perjalanan peradaban Kalimantan sebagai salah satu karakter IKN yang berkelanjutan. IKN menampilkan kebhinekaan tapi berinteraksi secara harmonis,” pungkasnya.