Hadapi Perbedaan Perlu Moderasi Berdasar Pancasila

Christomy yang juga dosen linguistik di UI, mengungkapkan gagasan moderasi masih belum banyak dibahas dan diterapkan di Indonesia, walaupun moderasi sebenarnya dapat menjadi gagasan solutif dalam aspek politik, agama, dan budaya.

“Kalau kita lihat di literatur, maka istilah moderasi ini muncul karena ada kecenderungan radikalisme atau terorisme. Kalau dalam konteks politik, moderat itu diposisikan tidak kiri maupun tidak kanan. Dalam konteks agama, moderat diposisikan tidak konservatif maupun tidak liberal. Tempat untuk membahas moderasi ini sangat beragam. Ada di level politik, level teologis, level kultural,” kata dia.

Pada kajian ini, terungkap bahwa tantangan utama gerakan moderasi adalah adanya para buzzer, penggiring opini di media sosial yang menggunakan hinaan terhadap pihak lain.

“Saat ini demokrasi agak ilusif, sehingga dimanfaatkan oleh para buzzer untuk mengkristallkan lawan agar mereka bisa mendemonisasi pihak tertentu, agar para buzzer bisa mendapatkan profit,” kata Noor.

Ia mengajak masyarakat untuk tidak menmandang diri dan orang lain dalam pelabelan atau labelling, yang kerap digunakan para buzzer di media sosial, di antaranya kampret, cebong, kadal gurun, kodok gurun, dan sebagainya.

“Jangan terjebak dalam pemaknaan atau labelling yang sejalan dengan apa yang dikembangkan buzzer, karena saat ini mulai berkembang cara berpikir yang merasa benar sendiri, tidak hanya di kalangan antipemerintah, tetapi juga ada di kalangan propemerintah,” kata dia.

Dalam kesempatan ini, Abdurakhman prihatin dengan para pemimpin dan tokoh politik di Indonesia yang menikmati adanya hinaan dan labelling dari para buzzer yang membenturkan rakyat.

Lihat juga...