Ini Alasan Mengapa Penelitian Arkeoastronomi di Indonesia Masih Sedikit

Redaktur: Muhsin Efri Yanto

Dosen Astronomi FMIPA ITB Ferry Muhadi Simatupang saat Zoom Webinar Arkeoastronomi oleh POJ, Sabtu (27/6/2020) - Foto Ranny Supusepa

JAKARTA — Materi arkeoastronomi di Indonesia sebenarnya sangat banyak tapi penelitian terkait hal ini masih sangat kurang. Ada beberapa penelitian tapi tidak banyak dipublikasikan. Selain itu, penelitian juga harus melibatkan disiplin ilmu lainnya.

Dosen Astronomi FMIPA ITB Ferry Muhadi Simatupang menjelaskan, arkeoastronomi merupakan persinggungan antara dua keilmuan yaitu arkeologi dan astronomi.

“Jadi kita melihat bagaimana keberadaan benda langit mempengaruhi budaya masyarakat di masa lampau. Bagaimana kita melihat fenomena langit yang terlihat pada artefak baik kontekstual maupun non-kontekstual,” kata Ferry saat Zoom Webinar Planetarium dan Observatorium Jakarta, Sabtu (27/6/2020).

Pengamatan fenomena langit ini, menurutnya, bisa terbagi menjadi pengamatan seketika, beberapa jam, sebulanan dan setahunan dan tidak menggunakan peralatan apapun.

“Penelitian ini bisa membantu para ahli Arkeologi untuk memahami mengapa suatu artefak dibuat, apa fungsinya dan apa cerita yang terkait dengan artefak tersebut,” ujarnya.

Beberapa penelitian arkeoastronomi yang pernah dilakukan di Indonesia adalah penelitian terkait Borobudur yang sudah sering dilakukan dan yang terbaru adalah Gunung Padang.

“Yang Gunung Padang ini, yang melakukan adalah mahasiswi saya dan dilakukan pada tahun 2011 saat Gunung Padang belum ramai seperti sekarang. Terlihat ada orientasi Gunung Padang yang menuju pada gunung lainnya dan adanya pola bayangan jatuhnya Matahari dari stupa serta pola 16 dan 32. Tapi belum dilanjutkan karena menunggu restorasi dari Gunung Padang,” urainya.

Dan penelitian lainnya, salah satunya, yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Astronomi ITB terkait Kesegarisan Candi-candi di Jawa Tengah dengan Matahari.