Pengamat Nilai Darurat Sipil Tidak Tepat
Editor: Makmun Hidayat
JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk melakukan darurat sipil di tengah paparan COVID 19, dianggap tidak tepat. Karena kondisi Indonesia saat ini sedang menghadapi pandemi yang bisa dianalogikan sebagai perang menghadapi penyakit.
Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie memaparkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang elemen terpentingnya adalah salus populis suprema lex yaitu keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
“Atas dasar itulah, kebijakan ini saya sebut tidak tepat. Karena COVID 19 ini kan pandemi. Artinya harus menerapkan prinsip internasional state of emergency yang mengacu pada tiga hal, yaitu unsur membahayakan, unsur kebutuhan yang mengharuskan dan unsur keterbatasan waktu,” kata Connie saat dihubungi, Selasa (31/3/2020).
Ia menyebutkan pandemi itu mengandung unsur yang membahayakan keselamatan.
“Menghadapi pandemi ini sama saja dengan perang. Perang yang musuhnya tidak kelihatan dan banyak yang kita tidak tahu daripada yang kita tahu,” ujarnya.
Isu pandemi ini juga kompleks, lanjutnya, karena menyangkut tentang kehidupan dan kematian.
“Ini bukan tentang kemanusiaan. Dan karena kompleks maka ia melibatkan masyarakat, ekonomi, publik, politik, semuanya. Jadi dibutuhkan kekuatan yang bisa mengendalikan,” paparnya.
Connie juga menyebutkan bahwa kebijakan yang tidak darurat sipil dan tidak darurat militer ini merupakan kebijakan banci. “Kenapa banci, karena pasal-pasal di darurat sipil dan darurat militer setengahnya sudah dilakukan,” ucapnya.
Contohnya, pada ketentuan darurat sipil terkait pembatasan pada pasal 13, mengetahui percakapan pada pasal 17, membatasi rapat-rapat pada pasal 18 dan membatasi orang di luar rumah pada pasal 19.