Ahli: Pemilu Serentak Menimbulkan Multi Efek
Redaktur: Muhsin E Bijo Dirajo
JAKARTA — Didik Supriyanto sebagai ahli yang dihadiri Pemohon dalam sidang uji materil UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), menyebutkan, pemilu serentak mendorong pemerintahan kongruen, karena parpol-parpol terpaksa menggalang koalisi sebelum pemilu.
“Pemilu serentak menimbulkan multi efek yaitu kecenderungan pemilih Presiden dan kepentingan Presidennya berpengaruh pada pemilihan dan keterpilihan anggota parlemen. Keterpilihan calon Presiden A mempengaruhi keterpilihan calon anggota parlemen dari partai atau koalisi partai yang mengajukan calon Presiden A,” kata Didik di hadapan majelis hakim MK saat uji materil UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Menurut Didik, pemerintahan yang tidak efektif pada era Presiden SBY adalah akibat pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang melahirkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa pemisahan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak konstitusional.
“Sehingga MK memerintahkan agar kedua jenis pemilu itu dilaksanakan serentak pada 2019. Tujuan putusan itu adalah untuk menguatkan sistem presidensial,” ujarnya.
Namun dalam praktiknya, sebut Didik, dalam Pemilu serentak 2019 hanya menyertakan pemilu presiden dan pemilu legislatif tanpa menyertakan pemilu kepala daerah. Hal ini menyebabkan keterbelahan kondisi pada tingkat pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota.
“Belajar dari Pemilu 2019, solusi keterbelahan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota adalah menyertakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilu serentak total nasional,” ungkapnya.