Kuda Sumba tak Sekadar Hewan Ternak
Editor: Koko Triarko
WAINGAPU – Di pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur, kuda merupakan harta yang tak ternilai karena selain sebagai tabungan dana, juga dipergunakan sebagai belis atau mahar perkawinan dan dagingnya dikonsumsi saat pesta. Di pulau Sumba, kuda atau Ndara dipandang kedudukannya hampir sama dengan nenek moyang, sehingga tidak memiliki nama atau diberi nama, karena dianggap sebagai pantangan.
“Bagi kami masyarakat Sumba, kuda bukan sekadar tunggangan, tetapi dipergunakan sebagai alat angkut sejak zaman dahulu,” kata Bandaria Lamuru, warga masyarakat adat Patawang Wanga desa Patawang, kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, provinsi Nusa Tenggara Taimur, Minggu (15/12/2019).
Topografi alam pulau Sumba yang berbukit dan mayoritas padang savana, membuat masyarakat mengandalkan kuda untuk membawa barang dan hasil kebun serta transportasi menuju ke wilayah lainnya.
Kuda dahulu ditunggangi saat berperang dan saat ini dalam acara Pasola, para penunggang kuda akan melarikan kudanya dengan kencang sambil memegang tombak dan melemparkannya ke sasaran.
“Masyarakat selalu memelihara kuda dan saat acara Pasola, kuda-kuda terbaik diperlombakan dalam laga tersebut. Kuda yang menang tentu merupakan sebuah kebanggan dan harga jualnya pasti mahal,” ujarnya.
Harga seekor kuda Sumba, kata Bandaria, berkisar antara Rp5 juta hingga puluhan juta rupiah, per ekor, dilihat dari besar kecilnya ukuran kuda, tinggi serta kekuatannya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan Sumba Timur, Yohanes Ratamuri, mengatakan, kuda-kuda Sumba banyak yang dikirim ke luar daerah dan diperdagangkan seperti ke Jeneponto di pulau Sulawesi untuk diambil dagingnya serta ke pulau Jawa.