Hakim MK Sarankan Pemohon yang Gugat KUHAP Pelajari Permohonan
Redaktur: Muhsin E Bijo Dirajo
Menurutnya, frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h KUHAP tidak jelas, tidak tegas, ambiguitas, dan multitafsir, sehingga kontraproduktif dengan tujuannya, yang salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sehingga dengan demikian tidak memberikan kepastian serta perlindungan hukum yang adil.
Erko menyatakan apabila permohonan dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada, maka potensi hal yang khawatirkan tidak akan terjadi.
“Hal ini, tidak akan mengakibatkan keadilan menjadi tertunda. Saya sebagai Pemohon mendapat kepastian hukum bahkan perlindungan hukum yang adil,” ujarnya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Erko meminta frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, c, d, e, f, h KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada, tidak mempunyai nilai hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak dapat dieksekusi oleh jaksa,” ungkapnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyarankan agar Pemohon memfokuskan pasal yang diujikan. Menurutnya, Pemohon mempermasalahkan Pasal 197 ayat (2), seharusnya kerugian akan berlakunya pasal tersebut yang harus diuraikan.
“Jadi Anda tidak perlu mengutip sedemikian rupa dan berulang-ulang,” sebutnya.