Pelabuhan Tanjung Adikarto Alami Sedimentasi 1,7 Juta M3 per Tahun

Redaktur: ME. Bijo Dirajo

YOGYAKARTA — Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) FT UGM Prof. Nur Yuwono menyebut tidak adanya data gelombang yang memadai di Indonesia, mengakibatkan banyak kasus pelabuhan di Indonesia mengalami erosi dan sedimentasi parah.

Hal ini disebabkan karena kurangnya penelitian dalam memprediksi naik dan turunnya gelombang sehingga perubahan garis pantai atau penilaian tingkat erosi dan sedimentasi juga menjadi tidak akurat.

Salah satu contoh pelabuhan yang mengalami erosi dan sedimentasi parah adalah pelabuhan ikan Tanjung Adikarto di Kulonprogo Yogyakarta. Pelabuhan yang dibangun tak jauh dari bandara Yogyakarta Internasional Airport ini mengalami sedimentasi sebesar 731.000 m3 per tahun dari arah barat dan 1.024.300 m3 per tahun dari arah timur.

Untuk mengatasi sedimentasi dan erosi dari struktur pantai itu, selama ini telah dibangun pemecah gelombang. Konsep tersebut belum sepenuhnya diterima pemerintah daerah karena biaya pengoperasian dan pemeliharaan yang relatif mahal. Apalagi tidak ada peraturan untuk mendukung metode “sand by passing” tersebut,

“Beberapa peraturan justru melemahkan metode ini,” katanya dalam diskusi Perencanaan dan Manajemen Pelabuhan yang berlangsung di ruang seminar Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Senin (07/10/2019).

Sementara itu pembicara lainnya Prof. Radianta Triatmaja mengatakan desain pemecah gelombang sangat mahal, bahkan desainnya memengaruhi kapasitas layanan, efisiensi, serta biaya operasi dan pemeliharaan pelabuhan. Keberadaan pemecah gelombang dalam perencanaan pelabuhan harus dipertimbangkan secara serius untuk mengoptimalkan biaya pengelolaan pelabuhan.

Lihat juga...