Revisi UU Perkawinan, Wagub NTB: Kita Lebih Dulu
Editor: Koko Triarko
Dikatakan, kasus pernikahan usia anak atau pernikahan dini di NTB masih cukup tinggi. Berdasarkan data Pemprov dalam NTB Satu Data, kasus pernikahan anak usia 10-19 tahun di 10 kabupaten kota berada di atas 30 persen hingga 58 persen pada 2018.
Lombok Barat, angkanya 49,89 persen, Lombok Tengah 57,98 persen, Lombok Timur 58,05 persen. Kemudian Lombok Utara 47,95 persen, Sumbawa Barat 37,81 persen, Sumbawa 37,32 persen, Dompu 34,19 persen, Bima 34,64 persen, Kota Mataram 42,14 persen dan Kota Bima 32,95 persen.
“Sebagai upaya mencegah pernikahan dini, selain melalui regulasi, juga harus dilakukan melalui edukasi dari tingkat dusun lewat Posyandu, sehingga revitalisasi Posyandu menjadi salah satu program prioritas Pemprov NTB dalam empat tahun ke depan” katanya.
Melalui revitalisasi Posyandu, lanjut Rohmi, akan banyak orang yang akan ikut mengontrol atau mengawasi, sehingga pengawasan terhadap pernikahan dini akan makin ketat ke depan.
“Jangan sampai anak umur 15 tahun direkayasa umurnya supaya bisa menikah. Makanya, diedukasi. Tanpa edukasi, tak ada artinya kita paksa-paksa sesuatu,” jelasnya.
Lebih lanjut Rohmi menambahkan, pendewasaan usia perkawinan dilakukan, agar bayi dan ibunya sehat. Mereka yang menikah benar-benar sudah siap secara mental. Bila ada konflik rumah tangga, tidak cepat bercerai. Kemudian secara ekonomi juga sudah matang. Sehingga ke depan, pendidikan anaknya sampai ke tingkat yang tinggi.
Pemerintah Pusat bersama DPR RI telah mengesahkan revisi UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, yang menetapkan batas usia perkawinan bagi pria dan wanita, dari 16 menjadi 19 tahun. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya menekan angka pernikahan usia anak.