Memahami Epilepsi, untuk Menghapus Rumor

Editor: Mahadeva

Irca Ahyar, Sp.S, CFIDN saat menjadi pembicara di salah satu talkshow Spekix 2019 di JCC, Minggu (25/8/2019) – Foto Ranny Supusepa

JAKARTA – Data menunjukkan, ada sekira 1,1 juta hingga 1,4 juta penyandang epilepsi di Indonesia. Jumlah itu tidak banyak, tapi banyak stigma tidak benar yang beredar di masyarakat terkait penyakit tersebut.

Misalnya, stigma yang menyatakan bahwa epilepsi adalah penyakit menular. Untuk meluruskan beberapa stigma tersebut, dokter spesialis saraf, dr. Irca Ahyar, Sp.S, CFIDN, menjelaskan, ada tiga kategori keadaan yang menyebabkan epilepsi.

“Yang pertama yaitu idiopatik. Yaitu timbulnya kejang atau epilepsi karena faktor predisposisi genetika dan umumnya berhubungan dengan usia. Pada kasus ini tidak terdapat lesi struktural di otak atau deficit neurology,” kata Irca dalam talkshow Spekix di Jakarta Convention Center, Minggu (25/8/2019).

Kategori kedua adalah simptomatik. Dimana bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi pada otak. “Jadi bisa karena cedera, infeksi, ada massa atau tumor di otak. Atau bisa juga karena kasus stroke maupun penggunaan obat-obatan atau pengaruh alkohol,” urai Irca lebih lanjut.

Kategori ketiga, adalah kriptogenik, yaitu suatu kondisi simptomatik tapi tidak diketahui apa penyebabnya. “Misalnya, seorang penyandang epilepsi sudah bebas kejang. Yaitu suatu interval waktu lebih dari tiga tahun secara berurutan tidak mengalami kejang sekalipun. Tiba-tiba mengalami kejang kembali. Ini bisa dikategorikan kriptogenik,” ujar Irca.

Pengobatan kejang, biasanya akan melibatkan terapi dan obat. Jika dalam jangka waktu tertentu penyandang epilepsi tidak mengalami kejang, yang pertama dilepaskan adalah terapi.  “Jika setelah terapi dilepaskan dan hanya obat saja, ternyata penyandang epilepsi tidak terkena kejang lagi, maka obatnya juga akan kita lepaskan. Dari pelepasan obat inilah, kita menghitung interval tiga tahunnya,” papar Irca.

Lihat juga...