GUATEMALA CITY – Warga Guatemala memilih presiden baru yang akan menghadapi tantangan besar setelah negara itu sepakat dengan Washington, untuk bertindak sebagai penyangga terhadap arus imigran gelap di bawah tekanan dari Presiden AS, Donald Trump.
Terancam dengan sanksi ekonomi jika tidak setuju dengan Trump, Pemerintah Guatemala saat ini sudah menandatangani perjanjian pada Juli lalu, untuk menjadikan Guatemala sebagai negara ketiga yang aman bagi para migran, meskipun kemiskinan dan kekerasan melanda negara Amerika Tengah itu.
Para pemilih harus memilih antara Alejandro Giammattei yang konservatif dan saingannya dari kiri tengah, mantan ibu negara Sandra Torres.
Kedua calon presiden itu mengeritik kesepakatan tersebut, tetapi diperkirakan tidak akan bisa berbuat banyak untuk menghentikannya.
Risa Grais-Targow, direktur Amerika Latin di konsultan Eurasia Group, mengatakan, bahwa sementara perjanjian bisa menghadapi reaksi penolakan di Guatemala, tapi di sisi lain jika menolak bisa membuat negara itu menghadapi risiko pajak pada pengiriman uang atau tarif barang-barangnya.
“Presiden berikutnya menghadapi situasi kalah-kalah ketika datang untuk mengelola kesepakatan dengan Amerika Serikat,” katanya.
“Itu adalah tantangan terbesar yang dihadapi presiden yang akan datang.”
Sebuah jajak pendapat CID-Gallup dari 1.216 pemilih yang dilakukan antara 29 Juli dan 5 Agustus, memberi Giammattei keuntungan ketika ia lolos ke pemilihan putaran kedua, dengan dukungan 39,5 persen, versus 32,4 persen untuk Torres. Jajak pendapat memiliki margin kesalahan 2,8 poin.
Siapa pun yang menjabat pada Januari mendatang, akan mewarisi sebuah negara dengan tingkat kemiskinan 60 persen, kejahatan luas dan pengangguran, yang telah menyebabkan ratusan ribu warga Guatemala bermigrasi ke utara.