Indonesia Pernah Jadi Pengekspor Minyak Terbesar di Dunia

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Ekonom senior INDEF, Faisal Basri, menjelaskan soal ekspor minyak dunia, Minggu (28/7/2019). - Foto: Sri Sugiarti

Lalu apakah biodiesel 20 (B20) jadi solusi? Faisal pun menilai itu bukan solusi. Karena menurutnya, program B20/B30 atau bahan bakar campuran solar secara langsung tentu saja mengurangi impor solar sekitar 20-30 persen. Jika program itu terlaksana 100 persen.

Namun, ekspor Crude Palm Oil (CPO) tentu saja juga turun, sehingga efek netonya tidak sebesar yang dikatakan pemerintah.

“Ingat bahwa program B20 dan B30 dilatarbelakangi oleh tekanan Eropa atas sawit kita, dan pemanfaatan kapasitas produksi pabrik biofuel di Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 35 persen,” ujarnya.

Pemain terbesar program tersebut adalah Wilmar Group yang menguasai hampir sepertiga kapasitas terpasang. Bisnis ini dijamin untung karena memperoleh subsidi dari pemerintah lewat dana sawit.

“Hampir 100 persen dana sawit mengalir ke pengusaha besar, tak sampai 2 persen menetes ke petani sawit untuk peremajaan,” tukasnya.

Meninjau kembali metode gross split, Faisal menyarankan, agar menawarkan menu beragam, bukan tunggal. Jadi menurutnya, bukan sekedar perubahan PSC cost recovery ke PSC gross split, tapi menawarkan menu beragam.

“Siang tadi kami makan gado-gado dan sekarang menyantap rujak. Betapa aneh kalau gado-gado hanya satu jenis sayuran. Betapa aneh kalau rujak hanya satu jenis buah. Ladang minyak kita beragam tingkat kesulitannya, juga beragam potensinya. Berilah keleluasaan untuk setiap equity migas yang kita miliki,” jelasnya.

Sedangkan akibat menu tunggal, menurutnya, penerapan sistem gross split dapat menghambat investasi di sektor hulu migas. Penerapan sistem gross split menyebabkan persentase proyek yang tidak ekonomis meningkat dari 17 persen menjadi 18 persen untuk proyek minyak bumi.

Lihat juga...