Usai Pemilu Presiden, Tentara-Demonstran di Zimbabwe Bentrok
HARARE – Bentrokan antara tentara dan demonstran pengunjuk rasa di Ibu Kota Zimbabwe, Harare, menelan satu korban jiwa. Masa kubu oposisi menuding, adanya kecurangan dalam pemilihan umum presiden yang berlangsung Senin (30/7/2018) lalu.
Suara tembakan menggelegar di jalanan, para tentara juga mengerahkan kendaraan lapis baja dan sebuah helikopter militer untuk membersihkan jalanan. “Satu orang tertembak di dekat sebuah bus,” kata sejumlah saksi mata di tempat kejadian perkara, Kamis (2/8/2018).
Kekerasan terhadap para demonstran itu semakin mempersulit upaya Presiden Emmerson Mnangagwa menjadikan negaranya diterima dunia internasional. Upaya tersebut dilakukan, setelah Zimbabwe dikucilkan semasa kekuasaan Robert Mugabe yang terguling oleh kudeta pada November lalu.
Sebelum aksi kekerasan terjadi, pemantau dari Uni Eropa mempertanyakan sejumlah kejanggalan yang terjadi. Pemilu presiden dan parlemen tersebut merupakan yang pertama, sejak Mugabe dipaksa mengundurkan diri setelah 40 tahun berkuasa.
Bentrokan terjadi setelah Nelson Chamisa, pemimpin oposisi kelompok oposisi Gereakan untuk Perubahan Demokratis (MDC), mengaku memenangi suara terbanyak. Sejumlah pendukung Chamisa, kemudian melempari polisi anti huru-hara yang berjaga di depan kantor Komisi Pemilu Zimbabwe (ZEC). Dan petugas membalas lemparan tersebut dengan gas air mata. “Saya berdemonstrasi dengan damai, tapi kemudian dipukuli oleh tentara,” kata Norest Kemvo yang mengalami luka di bagian dada dan tangan kanan.
Menteri Pertahanan Zimbabwe, Ziyambi Ziyambi mengatakan, sudah memanggil pihak angkatan bersenjata untuk memastikan terciptanya perdamaian dan ketenangan. Tanpa pengakuan dunia internasional, siapapun pemimpin Zimbabwe berikutnya akan kesulitan mendapatkan bantuan finansial internasional. Sementara negara itu membutuhkan dana miliaran dolar untuk memulihkan krisis ekonomi yang dialami.