RABU, 5 APRIL 2017
JAKARTA—- Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari, menilai, selama reformasi TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang etika berbangsa tidak begitu berfungsi karena lebih menekankan aspek-aspek penegakan hukum lainnya.
![]() |
Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari. |
Padahal, menurut Aidul, kalau mengacu pada teori hukum pidana, selalu tersirat etika berbangsa di dalamnya. Karena hukum pidana merujuk pada ultimum dan medium. Bangun etika dulu, sebelum tegakkan hukum, karena etika merupakan penopang hukum.
“Saya selalu sampaikan di pemerintahan Jokowi ini, semestinya program revolusi mental itu harus ada. Upaya untuk menginstal etika berbangsa yang praktis,” ungkap Aidul dalam Pra Konferensi 1 Etika Berbangsa di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (5/4/2017).
Aidul menyampaikan bahwa Sistem Hukum Indonesia berdasarkan TAP MPR tersebut, terdiri dari substansi, kultur, dan struktural. Karena substansi dan struktur hukum itu kerangka, tidak akan berfungsi kalau budaya hukum tidak tumbuh, sebab budaya hukum sebagai penggerak dari sistem hukum itu sendiri.
“Budaya hukum itu terkait dengan nilai-nilai dan norma. Nah, di situlah fungsi etika akan berjalan,” imbuhnya.
Indonesia, kata Aidul, mesti belajar dari Singapura. Betapa etika itu bisa mendorong penegakan hukum yang kredibel. Karena tegaknya hukum di Singapura, etika didahulukan. Negara tersebut, asas etikanya didasarkan pada rasa malu saat melanggar hukum. Baru dituduh korupsi saja, sudah mengundurkan diri. Bahkan di beberapa negara Asia lainnya, saat dituduh korupsi, oknum tersebut rela berani mencoba bunuh diri.