SABTU, 20 AGUSTUS 2016
YOGYAKARTA — Tangtungan Project, sebuah komunitas pecinta dan pelestari seni bela diri tradisional bersama Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta menggelar pentas pencak silat selama 4 jam di selasar Monumen SO 1 Maret 1949 Kota Yogyakarta, Sabtu (20/8/2016).

Sebanyak 30 jenis pencak dari berbagai aliran dan perguruan silat di Indonesia turut meramaikan gelar acara bertajuk Pencak 4 Jam di selasar Monumen Serangan Umum (SO) 1 Maret 1949 kawasan Titik Nol, Kota Yogyakarta. Secara bergantian, puluhan perguruan seni bela diri tradisional mendemontrasikan jurus-jurus dan gerakan mematikan dari perguruannya masing-masing.
Dalam sebuah penampilannya, seni bela diri Perisai Diri (PD) bahkan menampilkan satu pemainnya yang berasal dari negara asing. Namun lebih menarik lagi, dalam gelar Pencak 4 Jam yang dimulai pukul 15.30 WIB, turut hadir sebuah aliran pencak dari abad 18 Masehi. Aliran tersebut adalah Mainpo Cikalong dari Cianjur, Jawa Barat.
Dalam penampilannya mainpo cikalong diperagakan oleh salah satu sesepuh aliran tersebut yang telah beruisa 67 tahun. Meski tergolong lanjut usia, sesepuh yang oleh anak didiknya akrab disapa Abah Aziz itu tampak masih sigap dan luwes memainkan gerakan kuncian yang lembut seperti tak bertenaga, namun mampu membanting tubuh lawan yang jauh lebih besar dan muda darinya.
Usai memperagakan kepiawaiannya itu, Abah Aziz menjelaskan, jika mainpo cikalong bukan sebuah perguruan atau padepokan, melainkan sebuah aliran seni bela diri yang bertumpu pada kekuatan rasa. Karenanya, mainpo cikalong selalu mengharuskan terjadinya kontak fisik dengan lawan.
“Rasa berarti kita harus merasakan, maka harus bersentuhan,” katanya.
Dijelaskan lagi, karena sifat atau karakter mainpo cikalong yang harus bersentuhan itu, maka gerakannya selalu cepat dan tidak ada tempo. Gerakan mainpo cikalong mampu membalikkan tenaga lawan atau memanfaatkan tenaga lawan untuk menyerang lawan. Artinya, setiap gerakan serangan dari lawan justru akan berbalik menyerang dirinya sendirinya.
Inti dari mainpo cikalong, kata Abah Aziz, adalah menundukkan lawan tanpa melukai. Jika lawan terbanting dan terluka, berarti penguasaan ilmu mainpo cikalong justru belum sempurna. Dengan mainpo cikalong, lawan harus ditundukkan tanpa harus mengalami luka.
“Inilah keunikan aliran mainpo cikalong, bertumpu pada rasa dengan melawan serangan untuk menyadarkan lawan,”ungkapnya.
Dengan karakteristiknya itu, kata Abah Aziz, banyak orang mengatakan jika mainpo cikalong mirip dengan tai chi dari China atau aikido dari Jepang. Memanfaatkan, merubah atau menggunakan tenaga lawan untuk menyerang balik seketika.

Mainpo cikalong, katanya, mulai dikenal sejak abad ke-18 Masehi. Aliran tersebut pertamakali muncul di kalangan pondok pesantren di Cianjur, Jawa Barat, dengan tokohnya yang bernama Raden Ibrahim. Seiring dengan waktu, mainpo cikalong bertahun-tahun dilupakan. Namun sejak tahun 2007, kata Abah Aziz, mainpo cikalong mulai diperkenalkan lagi kepada generasi muda.
“Sekarang mainpo cikalong sudah ada di Semarang-Jawa Tengah, Malang-Jawa Timur, dan di Yogyakarta. Bahkan, mainpo cikalong juga dipelajari di Australia,”pungkasnya.
[Koko Triarko]