SABTU, 19 MARET 2016
Jurnalis : Koko Triarko / Editor : Fadhlan Armey / Sumber Foto: Koko Triarko
YOGYAKARTA — Perilaku bunuh diri akhir-akhir ini semakin sering terjadi. Kalangan terpelajar pun tak luput dari perilaku yang sungguh selalu mengejutkan itu. Menurut Sosiolog Kriminalitas Universitas Gajah Mada, Drs. Soeprapto, SU, perilaku bunuh diri saat ini disebabkan oleh suatu kondisi sosiologis yang disebut Autis Sosial.
![]() |
Sosiolog Kriminalitas Universitas Gajah Mada, Drs. Soeprapto, SU |
Ditemui di kediamannya, Sabtu (19/3/2016), Soeprapto mengatakan, perilaku bunuh diri bisa disebabkan karena seseorang merasa harus menyelesaikan persoalannya sendiri. Merasa tidak ada orang lain yang bisa memberinya solusi.
Orang bunuh diri itu katanya, merasa terkucil. Jika pun ada sahabat dan teman yang bisa memberinya solusi, namun dalam kasus bunuh diri hal itu pasti telah gagal dilakukan. Apalagi, interaksi sosial secara langsung, saat ini memang sangat berkurang.
“Sosialisasi langsung kini tergantikan oleh interaksi tidak langsung lewat media sosial di internet dan media lain, sehingga secara fisik pelaku bunuh diri tetap merasa tidak ada orang lain yang bisa membantunya,” ujarnya.
Terlepas dari apa persoalannya, lanjut Soeprapto, pelaku bunuh diri pasti menghadapi masalah berat. Sementara itu, terkait perilaku bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pelajar, biasanya faktor penyebabnya adalah soal asmara, kecewa, atau ada tekanan orang lain baik kelompok maupun individu, atau bahkan ancaman, sehingga merasa lebih aman jika mengakhiri hidupnya.
“Orang yang kelihatan baik, ramah, periang dan banyak kawan, seringkali justru membuat orang lain menganggapnya mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Maka ketika orang baik itu bunuh diri, semua orang pun kemudian terkejut,”katanya.
Perilaku bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pelajar, kata Soeprapto, juga bisa disebabkan karena proteksi atau perhatian keluarga sangat kurang, sehingga masalah tidak terpantau. Dan, dalam sistem pendidikan sekarang ini pun memang ada yang hilang. Yaitu, budi pekerti, sehingga kecerdasan emosi seseorang menjadi menipis.
“Soal pintar dan agamisnya pelaku bunuh diri, tidak selalu relevan dengan struktur seseorang dan tidak berkorelasi langsung dengan lembaga pendidikan. Seperti halnya korupsi. Tidak hanya pejabat tertentu yang korupsi, namun juga ada pelajar yang ketika mendapat proyek juga korupsi,” ungkapnya.
Adanya seorang pelajar yang melakukan bunuh diri, juga tidak serta-merta membuatnya menjadi tragedi pendidikan.
“Perilaku bunuh diri saat ini karena kita mengalami gejala sosiologis yang disebut Autis Sosial. Yaitu, merasa terpisah sendiri karena interaksi sosial secara langsung tergantikan oleh media lain sehingga secara fisik merasa sendirian. Jadi autis sosial itu bisa dialami siapa pun. Tidak hanya pelajar”, pungkasnya.