JUMAT, 11 MARET 2016
Jurnalis : Eko Sulestyono / Editor : ME. Bijo Dirajo / Sumber Foto: Eko Sulestyono
JAKARTA — Terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar merupakan sebuah tonggak penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Supersemar bisa dikatakan merupakan sesuatu yang sangat penting artinya setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Rektor Universitas Mercu Buana, Arissetyanto Nugroho |
Rektor Universitas Mercu Buana, Arissetyanto Nugroho dalam sambutannya menyebutkan, terbitnya Supersemar dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S/PKI). Saat itu Bangsa Indonesia sedang menghadapi cobaan yang berat, karena situasi serta kondisi keamanan dan ketertiban serta perekonomian dalam negeri yang tidak stabil. Supersemar merupakan semangat perlawanan terhadap segala macam dan bentuk ideologi Komunisme.
“Saya ingin menegaskan Supersemar bisa dikatakan salah satu payung hukum yang fundamental bagi tegaknya negara dan bangsa Indonesia, Supersemar adalah sebuah sikap politik bangsa dan negara Indonesia yang secara terang-terangan menolak adanya paham dan ideologi Komunis” demikian dikatakan Arissetyanto Nugroho, Rektor Universitas Mercu Buana, dalam sambutannya pada acara Peringatan 50 Tahun Supersemar di Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret tahun 1966 menerbitkan Supersemar, sebuah mandat dan amanat yang memberikan kewenangan kepada Letnan Jendral Soeharto yang waktu itu menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) merangkap Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Sementara itu, Data Pustaka Bank Indonesia mencatat, selama periode tahun 1960 hingga 1965, perekonomian Indonesia sedang menghadapi masalah yang paling berat dalam sejarah, sebagai dampak dari akibat kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik daripada ekonomi dan rakyatnya.
Doktrin ekonomi yang terpimpin pada era kepemimpinan Pemerintah pada waktu itu hampir menguras seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik Pemerintah. Sehingga tidak heran jika saat itu pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sangat rendah, sedangkan laju inflasi Indonesia tercatat sangat tinggi hingga mencapai 635 persen pada tahun 1966, sementara investasi asing pada waktu itu mengalami kemerosotan yang tajam.
Kondisi perekonomian dan politik di Indonesia berangsur-angsur mulai stabil setelah MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 Pasal 4 Tanggal 12 Maret 1967, yang memutuskan dan menetapkan Jendral Soeharto yang sebelumnya sebagai Pengemban TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-2.