Bekas Terpidana Teroris Jadi Pemateri Seminar Anti Radikalisme

Seminar Nasional
AMBON – Seminar nasional yang mengangkat tema radikalisme agama yang digelar Ambon Reconciliation and Mediation Centre (RMC) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon di Gedung Islamic Centre kelurahan Waihaong Kecamatan Nusaniwe kota Ambon, Kamis (11/6/2015) dihadiri Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra, dan Rektor IAIN Ambon Dr Hasbollah Toisutta.
Uniknya, Jumu Tuani yang adalah bekas terpidana teroris menjadi panelis atau pemateri, dalam seminar Jumu Tuani.
Dalam pemaparannya materinya, Jumu Tuani mengajak masyarakat Maluku untuk melawan pengaruh paham ISIS dan paham radikalisme agama lainnya dimana saat ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi Indonesia.
Dijelaskan, ISIS adalah ajaran yang menyimpang (khawarij). Karena  khawarij adalah ISIS. Untuk itu harus paham tersebut tidak perlu diberikan ruang dan tempat untuk hidup dan tumbuh subur di Indonesia.
Bekas terpidana teroris kasus konflik kemanusiaan di Kota Ambon sejak pada 1999-2003 menyatakan, paham radikal ISIS telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Menurutnya, mereka yang terlibat dalam ISIS gerakannya membunuh para ulama, anak-anak, perempuan, dan orang tidak berdosa. Ia menegaskan tindakan kelompok ISIS tersebut sudah sangat bertentangan dan melenceng dari ajaran Islam.
Jumu Tuani secara tegas menolak doktrin dan keberadaan ISIS. Karena kelompok tersebut sangat menjust umat muslim lain yang tidak memiliki alur pikiran yang sama dengan mereka dicap sebagai kafir dan wajib dibunuh.
“Pandangan kelompok ISIS ini sangat picik. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada seperti itu. ISIS selalu menerjemahkan ayat-ayat Al Quran dengan keinginannya sendiri,” kritiknya.
Jumu Tuani sempat merepleksikan kisahnya ketika berada di penjara Cianjur. Yang mana, dirinya sempat terlibat perdebatan dengan sesama terpidana teroris lain yang asumsi berbeda dengannya.
Kata dia, dari diskusi yang dilakukan ada sejumlah rekannya yang dapat menyadari, cara-cara kekerasan yang dilakukan atas nama agama tidak dibenarkan.
“Dari diskusi itu tiga teman saya saat ini telah menyadarinya. Saya sendiri sadar, ternyata apa yang saya lakukan pada masa lalu tidak sesuai dengan petunjuk agama,” terangnya.
Menurutnya, fenomena radikalisme agama yang menjurus pada tindak kekerasan saat ini sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, untuk itu wajib ada langkah preventif dini.
Dia berharap masyarakat Maluku wajib terus membangun persaudaraan dan saling menghormati agar perdamaian yang telah terjalin selalu ada di tengah masyarakat Maluku itu sendiri.
“Harapan saya, seluruh masyarakat Maluku wajib menjadikan konflik kemanusiaan tahun 1999 silam, sebagai cermin atau pelajaran berarti. Jangan lagi terulang. Berkonflik itu sia-sia, dan hanya menelan korban jiwa materi dan lain-lain. Kedamaian harus sama-sama kita pelihara untuk Maluku khususnya, dan Indonesia umumnya,” pungkasnya.
——————————————————-
Jumat, 12 Juni 2015
Jurnalis       : Samad Vanath Sallatalohy
Fotografer : Samad Vanath Sallatalohy
Editor         : ME. Bijo Dirajo
——————————————————-
Lihat juga...