CENDANANEWS- Sosok Amat Jumakir (73), terlihat nyentrik,diusia yang senja dengan rambut putih panjang di kucir. Sosok seniman yang tak bisa disembunyikan. Ia adalah ayah 5 putra, kakek dari 10 cucu dan 1 buyut ini terlihat begitu ceria. Bahkan saat Cendananews.com datang didirnya masih asyik memainkan pahat dan palu di sebongkah akar kayu jati (Jawa: tunggak) siang itu beliau dengan santai dan ramah menerima kedatangan saya.
Sambil mengepulkan rokok kretek, beliau bercerita tentang masa lalu dan tentang hal hal yang ada di memorinya. Saya jadi tahu bahwa beliau adalah seorang anggota Polisi pensiun dengan pangkat terahir SERMA (sersan mayor) saat itu tepatnya pada 1992.
”alah mas,ini Cuma dari pada nganggur” ujar beliau merendah menunjukkan aktifitas yang selama ini digelutinya.
Saya maklum biasanya,orang seumuran pak Amat Jumakir memang senang bicara merendah terlebih dengan begitu terlihat kebijkansanaan yang ditunjukkannya kepada orang muda tanpa bermaksud mengajari atau memberi petuah, apa adanya tapi mengena untuk diriku.
![]() |
Amat Jumakir |
Di teras rumah beliau di dusun Tunjungan,Rt 030 Rw 012, Desa Pengasih, Kec Pengasih ,Kab Kulon Progo, Jogjakarta,cerita pun berlanjut. Rumah yang sekaligus menjadi workshop baginya menekuni seni yang telah membuatnya mengisi hari hari pensiun dengan lebih bermakna.
Aku mengamati lelaki ini terlihat penuh semangat,mengalir, ” Sebenarnya ini ndak sengaja mas” jawab nya .
Saat saya tanya dari akar kayu seperti yang saya lihat tak ada manfaatnya namun ditangan beliau bisa menjadi barang unik dan klasik dan bernilai seni.
“Kalau dilihat kan akarnya biasa saja pak, tapi kok bapak bisa mengolahnya menjadi barang seni dan yg pasti jadi ada harga nya lo pak,” ujarku memuji.
Ia pun dengan semanngat menuturkan : “Ya itu td mas, awalnya tidak sengaja,saat dulu mau bangun rumah ini,di belakang sana,banyak sekali,tunggak,,mau ndak mau saya harus singkirkan to mas,” ungkapnya dambil menunjuk ke arah belakang rumahnya.
Berbicara menggunakan logat Jawa Jogja nya yg khas ia kembali melanjutkan bahwa kesibukannya itu bermula dari iseng.
“Setelah tunggak itu di singkirkan saya melihat alangkah bagus jika tunggak ini saya telateni jadi kursi, akhirnya dengan peralatan yang saya pinjam pada tetangga yang kebetulan menjadi tukang kayu, tunggak itu pun mulai dipahat,” ungkapnya.
“Jujur mas,saya gemes liat tunggak seperti ini kok di anggurkan,dulu saya sebelum berdinas di Kepolisian ,kan pernah kerja juga di pengrajin perak,saya dulu aslinya dari Kota Gede mas,” terangnya.
Ia kembali menuturkan kisah awal mula ia bisa bergelut dalam bidang seni tersebut. Rupanya ke dua orang tuanya adalah perajin perak, nah di situlah awal Amat Jumakir terasah dan bakat seni mengalir dari kedua orang tuanya.
Melihat kedua orang tuanya yang seorang pengrajin perak, Amat Jumakir makin mencintai setiap pahatan pahatan nya meski profesi dirinya dan orang tua berbeda bahan baku kayu dan perak. Ia mengaku saat initak hanya terfokus pada tunggak bahkan batu putih pun beliau pahat menjadi barang yg unik,klasik,dan bernilai jual. Tak terhitung sudah hasil seni mantan polisi yang terjual ada sampai ke luar daerah.
Melihat karya seni bernilai tinggi tersebut, terbersit dalam pikiran saya untuk bertanya apakah ia tak ingin memproduksi karya seni tersebut dalam jumlah besar dan hal tersebut spontan saya tanyakan
kepada pak Amat Jumakir.
“Wah mas,saya sudah tua, uang bukan tujuan utama saya,tapi jiwa mas,ini yang bekerja, soal nya ini pekerjaan yg harus menyatu dengan objek,ngge roso ” ucap beliau.
Ia menegaskan karya seni yang ditekuni olehnya memiliki tingkat kesulitan yang terbilang tak sederhana. Ia melihat bahwa akar pohon jati tak sembarangan untuk dibentuk.
” Intinya tidak bisa lo mas jika kita memaksa oo, tunggak ini mau saya bikin seperti ini. Tapi sata tanamkan di hati bahwa justru kita yang tahu, oo tunggak ini maunya di bikin jadi ini,jadi kita mengikuti media bahan baku yang mau dibentuk,” terangnya.
Dalam hatiku aku setuju dengan pak Amat. Pantas saja beliau mengisahkan jika dalam proses pngerjaan satu buah pahatan memerlukan waktu yang bervariatif.
“Bisa hanya 10 hari, bisa uga lebih dari itu tergantung media dan rasa saat memahat jadi jangan terburu buru asal jadi,” ujarnya.
Tak terasa waktu terus berputar perbincangan dengan pensiunan polisi yang bijaksana ini sudah berjam jam lamanya. Akhirnya saya memohon diri padanya nya dan saya pamit.
Beranjak dari rumah beliau, banyak nilai inspirasi yang saya petik dari percakakapan tadi, umur tak menjadi hambatan,bekerja dengan mencintai pekerjaan, dan ada lagi,seni itu tak pernah mati…
—